Saya orang yang sangat sulit percaya pada orang lain. Selain karena dididik dan dilatih untuk seperti itu, juga pengalaman saya mengajarkan hal serupa.
“Jangan percaya siapa pun”, dan “Semua orang mencurigakan, sampai terbukti tidak mencurigakan”, menjadi kredo saya. Hal terakhir itu adalah kebalikan dari “presumption of innocence” yang ada dalam hukum. Saya menerapkan “presumption of guilty“, atau “everyone suspicious“.
Beberapa kali teman yang bahkan masuk kategori sahabat atau teman dekat, ternyata menelikung dan mengkhianati saya. Kadarnya bermacam-macam. Ada yang sekedar menyakiti perasaan, hingga merugikan secara material. Saya berniat membuat tulisan berseri bertajuk “teman-teman yang menyebalkan/memuakkan” untuk merekam berbagai kejadian yang pernah saya alami tersebut.
Oh ya, saya pendendam. Memori saya kuat mengingat kesakitan. Dan dengan itulah saya justru bertahan. Dengan begitu saja saya masih beberapa kali “kena”. Apalagi saya mengendurkannya…. Tiap kali saya mengendurkan “pertahanan diri”, hampir pasti saya “kebobolan”. Terlalu percaya orang lain karena saya sendiri orang yang bisa dipercaya, membuat saya lengah. Sebagai contoh saja, di organisasi yang saya dirikan dimana saya adalah “ketua umum seumur hidup”, sudah enam kali terjadi pergantian sekjen. Dan sebagian besar di antaranya membuat saya sakit hati. Hanya satu orang yang tidak, karena beliau diganti disebabkan wafat.
Uang bukan selalu jadi faktor utama. Tapi lebih ke penghargaan. Sebagai contoh misalnya, saya pernah berjibaku menerbitkan buku antologi untuk sebuah organisasi komunitas. Sudah saya repot sendiri, mulai dari menulis dan mengumpulkan tulisan dari para penulis yang tersebar di berbagai tempat, mengedit, mencetak, bahkan menyebarkannya juga sendirian. Eh, si ketua komunitas itu, berterima kasih saja tidak. Malah nggak ngganggep sama sekali keberadaan buku hasil kerja keras saya itu. Padahal, itu untuk portofolio komunitasnya dia juga. Dan dia juga tidak keluar biaya sepeser pun! Saya yang membiayai semuanya. Saya pun sontak seketika saat itu juga langsung keluar dari sana. Saya bukan “bangsat bodoh” yang mau saja diinjak-injak demi kejayaan orang lain.
Kemampuan saya dalam “meraba” kepribadian dan karakter manusia saya gunakan setiap saat ketika bertemu orang lain. Bahkan termasuk calon pasangan. Beberapa kali saya putuskan hubungan tidak berlanjut walau seolah baik-baik saja. Karena saya memprediksi bahwa ada “something wrong” di sana. Dan biasanya, Tuhan menunjukkan bahwa keputusan saya benar. Meski terkadang ada yang memerlukan waktu 10-15-20 tahun kemudian lamanya.
Untuk menjajaki kerjasama dari pertemanan, saya kerapkali sangat berhati-hati. Apalagi bila mengikutsertakan materi, seberapa pun kecilnya. Karena buat saya, lebih baik tidak usah bekerjasama, apabila kemudian berpotensi merusak pertemanan itu sendiri.
Kredit Ilustrasi:
Nathalie Lees, diunggah di nytimes.com/2022/05/07/well/live/adult-friendships-number.html