
Hari ini, saya mengajak istri saya makan di rumah makan kenangan. Bukan kenangan bersama mantan lho, walau lokasinya dekat dengan rumah salah satu mantan terlama saya. Tapi kenangan bersama orangtua saya. Dahulu, sewaktu saya masih SD atau SMP, almarhum ayahanda pernah beberapa kali mengajak kami sekeluarga makan di restoran ini. Walau, lokasinya bukan di tempat saya makan bersama istri kali ini, melainkan di cabang lain.
Sebelumnya, saya menyatakan “Disclaimer“. Bahwasanya saya tidak dibayar oleh rumah makan tersebut. Demikian pula saat makan kami membayar normal, tidak ada potongan harga. Malah, tulisan saya di sini akan mengkritisi habis “rumah makan kenangan” tersebut. Karenanya, saya tidak menyebutkan sama sekali namanya di tulisan ini. Anda bisa mencermati sendiri di foto ilustrasi yang saya sertakan, apa nama restoran tersebut. Karena di situ ada daftar menu yang ditempelkan di balik kaca meja.
OK, saya mulai.
Saya akan menyinggung sepintas saja soal sejarah rumah makan itu. Ketika pasangan suami istri pemilik jaringan restoran ini bertikai dan akhirnya bercerai, saya berpihak pada salah satunya saat itu. Ya. Saya berpihak pada sang istri. Karena kasusnya si suami merebut merek dan aset yang telah susah payah dibangun. Bahkan kemudian si suami kawin lagi. Sejak kejadian itu, saya tidak pernah lagi membeli dari restoran yang jaringannya telah dikuasai sang suami. Sementara, si Ibu menguasai sisa aset dan melakukan sedikit diversifikasi merek untuk bertahan hingga kini.
Nah, cukup sampai di situ. Kalau anda seperti saya, besar di era 1990-an, pastinya tahu restoran legendaris tersebut. Menu sajian utamanya adalah ayam goreng berbumbu yang disertai “kremes”. Ini mulanya adalah semacam remukan sisa gorengan ayam. Namun, dalam sajian ini, tentu saja ia dibuat khusus karena banyak peminatnya.
Pertama memasuki halamannya yang luas, saya cukup senang. Pengemudi kami bisa leluasa mencari parkir setelah kami turun dari mobil. Begitu pula ketika membuka pintu masuk restoran yang menghuni rumah tapak di lahan luas tersebut, suasana segar ngangeni terasa menyeruak. Menyegarkan sekali suasananya, apalagi kemudian terlihat di belakang restoran masih ada lahan lagi yang ditumbuhi beberapa pohon besar.
Apa yang melegakan bagi saya pribadi adalah adanya kenangan yang tak berubah. Di tengah derasnya laju waktu dan perkembangan zaman, ada sesuatu yang tetap sama itu sebuah kemewahan.
Saya dan istri lantas duduk. Ketika melihat menu di selembar kertas yang ditempel di meja, saya agak heran. Karena kategori restoran ini sebenarnya “menengah ke atas”, kenapa menu model buku tidak dipertahankan? OK-lah, mungkin untuk kepraktisan.
Suasana restoran sangat lengang dan sepi. Bisa jadi karena kami datang saat sore, bukan jam makan. Hanya ada 1 orang pengunjung lain di ruangan yang bisa menampung sekitar 100 orang itu.
Ketika akhirnya ada yang menyadari kehadiran kami setelah duduk beberapa menit, yang datang adalah pelayan pria atau waiter berbusana tradisional Jawa. Ya, pemilik restoran ini memang asli Solo, Jawa Tengah. “Mas” tersebut mendatangi kami dengan wajah ditekuk, seakan sarat beban hidup. Padahal, sekali lagi, restoran tersebut masuk kategori “menengah ke atas”. Saya yakin, ia digaji cukup di situ.
Kami meminta agar nota pesanan ditinggal saja agar kami bisa menuliskan sendiri. Masalah lain lagi muncul saat sudah selesai. Kami berteriak-teriak memanggil pelayan hingga beberapa kali selama beberapa menit, tapi tak ada yang peduli. Padahal, mereka jelas tidak sibuk karena hanya ada 1 pengunjung lain sebelum kami. Mas tadi malah berlalu-lalang dan tak mau menengok sama sekali saat kami panggil. Akhirnya, ada satu orang pelayan wanita (waitress) yang juga berbusana Jawa yang datang. Tetapi, ia salah sangka karena dikiranya kami belum memesan. Ia datang dengan membawakan nota pesanan. Ketika kami beritahukan kami sudah menulis nota pesanan, ia pun mengambilnya tanpa sepatah kata pun dan juga tidak mengulang pesanan kami. Sebuah SOP yang biasa kami temui di restoran lain.
Ketika akhirnya pesanan kami datang, mas yang tadi memberitahukan salah satu pesanan saya tidak ada. Ia menawarkan penggantinya yang lebih mahal dan saya setujui. Dari kecepatan penyajian, okelah, cukup cepat.
Tapi ternyata, kecepatan itu karena makanan yang disajikan tidak baru. Sayur asam dalam porsi kecil yang disajikan sama sekali tidak panas, hangat tipis-tipis saja. Dan rasanya ternyata anyep, plus dagingnya alot. Nasinya juga tidak hangat sama sekali. Padahal, seharusnya nasinya ngebul.
Untunglah rasa ayamnya masih selezat seperti saya ingat. Hanya saja, sambalnya yang dulunya takarannya melimpah, kini disajikan dalam takaran yang masuk kategori “pelit”. Lucu kalau harga cabai dijadikan alasan. Masa’ kalah dengan warung tenda ayam goreng pinggir jalan yang sambalnya melimpah-ruah? Sambal lalapannya pun sama sedikitnya.
Kami hanya memesan sedikit karena hanya berdua. Itu saja saya memesan nasi tambahan sekaligus di awal, karena kuatir bila pesan kemudian akan lama pelayanannya.
Itu baru soal makanan dan minuman.
Setelah usai, saya pergi ke kamar mandi alias toilet. Memang, bangunan kamar mandinya satu tema dengan restorannya. Ala rumahan tempo 1980-an. Dindingnya keramik hingga ke langit-langit. Seolah OK. Tapi ternyata tidak.
Masalah muncul karena sama sekali tidak ada gantungan di situ. Padahal, harga gantungan sangatlah murah untuk restoran semewah itu. Andaikata pelit sekali pun, belilah paku yang harganya jauh lebih murah lagi. Lima ribu saja sudah dapat melimpah. Saya sangat kesulitan meletakkan celana karena hendak buang air besar, sehingga terpaksa saya pegang. Bila membawa ponsel atau dompet, sangat besar kemungkinan terjatuh. Masalah lebih besar muncul karena penyiram air di WC alias flush-nya tidak berfungsi. Alamak! Terpaksalah menyiram dari air seember. Sudah tangan memegang celana, harus menyiramkan ember pula ke WC. Bisa membayangkan, bukan?
Istri saya tidak ke kamar mandi saat itu, sehingga kami tidak tahu kondisi WC wanita. Kemungkinan besar ya sama saja.
Sayang sekali, kunjungan saya ke “rumah makan kenangan” justru berakhir anti-klimaks: mendapatkan kenangan tak menyenangkan. Yah, rasanya, ini terakhir kalinya saya ke situ. Seperti kenangan, saya pun harus mengucapkan selamat tinggal.
Toh, restoran selegendaris itu tak perlu pembeli bawel seperti saya. Lagipula, bisa jadi pemiliknya sudah punya jurus kebal bangkrut. Wkwkwk…