
Hari ini saya meluangkan waktu bersama istri untuk menonton film yang dibintangi oleh aktor favorit istri saya: Dwayne Johnson. Judul filmnya “Black Adam” (2022).
Ini sebenarnya sebuah kegiatan yang sangat jarang kami lakukan sejak pandemi. Seingat saya, selama dua tahun terakhir sepanjang penerapan masa pembatasan mobilitas dan kegiatan oleh pemerintah -apapun sebutannya- kami hanya 3 kali menyaksikan film di bioskop. Sebabnya, saya malas harus berkali-kali melewati pindai vaksin. Sudah di pintu masuk pusat perbelanjaan atau mall, di pintu masuk bioskop, di pintu masuk rumah makan, atau di toko-toko. Kami sudah mencoba mencari bioskop yang tidak terletak di dalam area pusat perbelanjaan. Tapi ya tetap saja “malesin”.
Bukan, itu bukan karena saya “anti vaksin”. Saya dan istri tentu saja sudah divaksin. Apalagi kami pendukung pemerintah yang sah. Tapi, saya tipe orang yang malas melewati penjagaan atau mengisi buku tamu. Kalau bisa, cari kegiatan yang tidak ada dua hal itu.
OK, saya tidak akan lebih lanjut ‘ngomel-ngomel‘ di sini. Tapi, saya juga tidak akan membahas terlalu dalam soal filmnya. Karena, itu nanti jatahnya situs saya resensi-film.com. Apalagi, sudah sejak bertahun-tahun lalu saya tidak menambah tulisan di sana.
Di sini saya hanya sekedar mengamati suasana saat kami menonton di bioskop tadi. Karena film “superhero” ini jelas sekali fiksi, maka tak perlu diambil serius. Walau begitu, bukan berarti hanya bagi anak-anak saja. Malah, di bioskop, saya mendapati sangat jarang penonton anak-anaknya. Banyak adegan kekerasan yang dalam klasifikasi batas usia penonton seharusnya tidak masuk bagi anak-anak, minimal bagi usia remaja. Di zaman Orde Baru dulu, LSF*) akan menetapkan batas usia minimal 13 tahun.
Saran saya, LSF perlu lebih ketat lagi menerapkan soal ini. Tidak sekedar sibuk -menyensor ‘tetek’ sapi dan patung di tayangan televisi saja-, tapi lebih ketat lagi dalam menerapkan aturan pemeriksaan usia bagi penonton bioskop. Jangan sekedar menuruti kemauan pengusaha bioskop yang berusaha meraih sebanyak mungkin penonton.
Andaikata ada dana lebih, untuk film-film tertentu bisa dibuat brosur untuk menerangkan sinopsis. Dulu, seingat saya di jaringan bioskop tertentu, malah ada majalah kecilnya segala. Di situ lengkap tertera judul film yang sedang tayang, di bioskop mana saja, dan data mengenai filmnya. Juga ada wawancara atau artikel tentang film lainnya.
Bila memang mencetak brosur atau majalah terlalu mahal, bisa ditambahkan di situs atau aplikasinya. Dengan begitu, penonton bisa lebih selektif dalam memilih film. Percuma di layar ditayangkan ILM**) agar “bijak memilih tontonan”, kalau pihak bioskop dan otoritas regulator tidak berbuat preventif. Dengan begitu, pesan atau hikmah dari sebuah film akan bisa lebih sampai kepada penonton. Percuma kalau film dengan “maksud baik” seperti “Black Adam” ini, disalahpahami semata sebagai film “pukul-pukulan” belaka.
Keterangan:
*) LSF: Lembaga Sensor Film
**) ILM: Iklan Layanan Masyarakat
Sumber gambar ilustrasi: djavatoday.com/film/film-black-adam-penjahat-yang-menjadi-tokoh-utama/ (Di situ kredit fotonya dituliskan: istimewa/net)