Dari daftar sepanjang itu, hanya ada 6 orang teman saya yang melayat. Padahal, mereka yang pernah kenal tentu ratusan jumlahnya. Kalau yang baru kenal 1-2 tahun atau tak kenal dekat tentu tak masalah bila tak hadir.
Tapi ada yang saya anggap “sahabat” pun tak menyempatkan diri hadir. Wajar bila mencermati karakter dan sifatnya yang selfish dan cenderung narsis. Lha wong ada teman sesama komunitas dulu yang wafat saja, dia tak hadir. Menulis “obituari” panjang lebar di F.B., tapi tak melayat. Padahal saya yang bahkan pernah salah paham dengan almarhum, menyempatkan diri menempuh sekitar 7 jam pergi-pulang untuk melayat bersama istri. Puh!
Saya sedang dalam tahap memilih dan memilah teman. Apalagi dengan semua yang saya warisi dari almarhum Bapak, tantangannya makin berat. Istri saya yang baru dua tahun saya nikahi pun ikut was-was. Tahu kan sebabnya? Hehe….
Prioritas hidup saya pun ikut berubah. Pertemanan dalam pola kerumunan besar tak lagi menarik bagi saya. Karena itulah antara lain yang menjadi penyebab saya tak menghadiri Reuni Perak 25 Tahun Alumni S.M.P. dan S.M.A. saya, sungguh pun saya tahu panitia berusaha menghormati saya begitu rupa. (Di reuni S.M.P. panitia menempatkan foto saya di baris teratas posisi paling tengah pada backdrop. Di reuni S.M.A. panitia menggunakan foto karya saya di “Buku Tahunan” pada backdrop, dimana saya adalah Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi-nya. Terima kasih banyak.)
Di F.B. ini pun terlihat jelas bagaimana teman-teman dunia nyata memperlakukan saya. Unggahan saya selalu minim like. Kalau pun misalnya ada 100 like, hanya sekitar 20-an yang kenal di dunia nyata. Kalau cuma 10 like, yang “temen beneran” berarti hanya 2, dengan mengecualikan account istri saya tentunya. Dan unggahan dengan like banyak biasanya adalah yang terkait dengan kedukaan. Hanya satu unggahan tulisan analisis terkait 411 (4-11-2018) yang mendapat respon lumayan.
Bagi para seleb medsos atau minimal socmed personality, I f*****g don’t care about them. Mereka menderita semacam halusinasi sebagai selebritas. Attention seeker disorder. Sindroma lampu sorot.
Lah, lucunya banyak juga teman dunia nyata saya yang mengalami ini. Memakai pupur tebal dan gincu merah di medsos. Padahal di real world mereka nobody. Cuma, memang jauh lebih menyenangkan daripada saya. Sehingga menulis “Hai!” saja di status bisa berbuah ratusan like. Biarlah. Biar mereka menikmati “five minutes famous” itu. Sebagai manusia, mereka memang “belum selesai”.
Saya… Insya Allah dan Alhamdulillah sudah. Bahkan sudah sejak cukup lama kalau cuma soal popularitas dan pertemanan.
Kondisi itu juga membuat saya menyadari, tempat saya bukan di medsos dimana saya tampil sebagai saya. Di account F.B. utama inilah saya paling banyak terkoneksi dengan orang yang benar-benar kenal di dunia nyata. Saya tampaknya harus tampil sebagai “persona” agar orang lain bisa “nyaman” dengan saya. Biarlah hanya istri saya yang tahu siapa saya sebenarnya.
Kepada ayahanda saya yang hidupnya telah selesai, saya sudah mengucapkan selamat tinggal. Taburan bunga di pusaranya melambangkan perpisahan penuh keikhlasan. Semua kesalahan sudah dimaafkan. Hanya kebaikan yang dikenangkan.
Kini, sudah waktunya juga saya mengucapkan selamat tinggal kepada F.B. friends. Baik yang pernah mengenal atau minimal bertemu saya di dunia nyata, maupun tidak. Saya tidak akan mendeaktivasi account ini. Tapi berhenti mengunggah tulisan atau foto setelah unggahan terakhir ini. Saya juga akan sangat meminimalisir interaksi berupa “like & comment” di account orang lain. Insya Allah untuk selamanya. Bisa jadi unggahan berikutnya di account F.B. ini -bila timnya Mark Zuckerberg tidak menutupnya- adalah pemberitahuan saya meninggal dunia.
Saya harus mengubah fokus dan prioritas hidup. Pasca wafatnya ayahanda, saya bersama istri harus membereskan begitu banyak urusan. Kami sendiri masih punya kehidupan yang harus diperjuangkan. Dan maaf, tak ada waktu serta tenaga untuk menyinyiri Anies Rasyid Baswedan. Apalagi keluarga kami sudah melepas properti di JakSel sebulan sebelum wafatnya Bapak. Jadi, kami sudah bukan “Jakartans” lagi.
Saya memang memilih “jalan sepi” dengan sengaja. Karena saya trauma pada pertemanan yang tak tulus-ikhlas. Saya juga muak pada mereka yang tak tahu terima kasih.
Maka dengan ini saya mengucapkan:
“Sudah selesai. Selamat tinggal.”
Kredit Foto: Ferbian Pradolo, S.Sos.,M.M.
{Tulisan ini merupakan bagian kesebelas dan terakhir dari serial “Pelajaran Kebidupan Dari Wafatnya Ayahanda.}
[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FaceBook (F.B.) utama penulis pada tanggal yang sama.]