​Sudah Selesai, Selamat Tinggal [1]

Judul tersebut dipilih bukan saja karena tulisan ini merupakan bagian terakhir dari serial “Pelajaran Kehidupan Dari Wafatnya Ayahanda” saja, tapi juga -insya Allah- merupakan tulisan terakhir yang saya unggah di account F.B. ini. 

[Karena terlalu panjang saya akan pecah jadi dua bagian tulisan. ]

Saya masih akan aktif menulis sesuai dengan bidang peruntukan di account F.B. lain, juga di laman penggemar (fanpage), tapi tidak di sini. Gaya penulisannya akan berjarak. Tidak lagi menceritakan pengalaman pribadi sama sekali. Melainkan lebih kepada analisis dan pembahasan.

Kenapa?

Semua berawal justru dari saat berakhirnya hidup ayahanda saya. Saya menyadari banyak sekali hal baru. 
Termasuk kesalahan terbesar saya: “Mengira orang lain akan taat azas seperti saya”. 

“Taat azas” di sini bukan sekedar taat aturan hukum tertulis -baik hukum negara maupun agama- saja, tapi juga konvensi, norma, adat, dan kebiasaan. “Salah tiga”-nya adalah tentang tiga kata yang terlihat mudah dituliskan, tapi sulit dilaksanakan: Permisi, Maaf, dan Terima Kasih. Saya di sini hanya membahas yang terakhir saja.

Foto yang saya unggah di sini adalah dua halaman -dari total 3 halaman- ucapan terima kasih yang tercetak di buku MajmuSyarif khusus. Buku itu kami cetak dalam rangka 40 Hari Peringatan Wafatnya Ayahanda. Ada tambahan 12 halaman khusus lainnya berisi foto-foto kenangan di buku setebal 480 halaman tersebut. Semuanya saya yang menyusun, dibantu istri tentunya.

Mengapa saya “memamerkan” bagian dari buku tersebut di sini? Karena saya ingin menunjukkan, bahwasanya saya orang yang tahu berterima kasih. Semua yang berperan dalam proses penyelenggaraan jenazah almarhum ayah saya dituliskan. Dan yang tidak terlibat ya tidak disebutkan.

Meskipun hasrat hati ingin menuliskan nama Presiden, Ketua DPR RI, Ketua Umum parpol, Sekjen MPR RI, hingga Bupati… Tapi tidak. Saya memang tidak memberitahu mereka. Dan mereka juga tidak memberikan ucapan atau tindakan apa pun. Sehingga pemakaman ayahanda diadakan normal secara sederhana tanpa upacara apa pun. 

Tak perlu juga saya membeli sendiri karangan bunga seolah dikirimkan dari pejabat atau organisasi. Dimana hal itu dilakukan beberapa teman yang kerabatnya meninggal dunia. Mungkin biar keren. Lha wong wafat saja kok masih perlu pencitraan. Njelehi!

Terlihat jelas dari daftar tersebut, yang paling berperan adalah tetangga, baru saudara. Teman? Muke jaaaauuuh…. !!!!
Teman seusia ayah memang sudah banyak yang wafat, sehingga jelas tak bisa hadir. Tapi yang masih hidup pun tak hadir. Hanya ada beberapa yang mengucapkan dukacita via telepon atau W.A..

Nah, apa yang saya sangat kecewa adalah tidak ada satu pun mantan anak buah ayah yang hadir! Bahkan mengucapkan dukacita pun tidak! Lewat F.B. hanya ada satu orang. Itu pun dia teman saya di pers kampus. Jadi saya anggap posisi dia adalah sebagai teman saya, bukan mantan anak buah ayah.  Satu lagi mengucapkan via W.A. Wajar dia tak hadir karena posisinya di Surabaya. Tapi yang di Jabodetabek tak ada yang datang. Padahal, di darah mereka mengalir uang hasil pemberian keluarga kami, karena perusahaan tempat mereka pernah bekerja “technically” adalah perusahaan keluarga. Saham orang lain di sana cuma saham kosong. Dengan ayah saya menguasai mayoritas mutlak saham, lebih dari 80 %.

Ada pula anak dari eks anak buah ayah, yang dulu juga sempat jadi anak buah saya di pers kampus, saat pernikahannya ayah dan Ibu saya bahkan menyempatkan hadir. Dia pun tak peduli. Ada seorang lagi sesepuh -walau usianya masih muda- sebuah komunitas pengusaha yang anggotanya banyak, dia adalah menantu dari “tangan kiri” ayah saya di kantor. Saat pernikahannya malah ayah saya jadi saksinya. Bahkan ikut serta sebagai “delegasi keluarga” calon istrinya saat lamaran. Saya juga hadir. Tapi kini, boro-boro. Di semua platform medsos saya coba sapa pun tak berbuah, padahal friend. Jelas dia tak sudi meluangkan waktunya yang mahal untuk hadir melayat.

Akan halnya teman-teman ayah yang masih aktif memegang jabatan tertentu, saya memang tak memberitahu. Bahkan pasca wafatnya, masih ada yang S.M.S  ke nomor H.P. beliau. Tentu karena tak tahu ayah sudah wafat. Saya tak ingin terkesan mengemis atau apa. Karena kuatirnya mereka mengira saya meminta sumbangan. Anda yang hendak berkomentar “jangan su’udzon dulu” pasti tolol. Tidak pernah punya pengalaman interaksi dengan “wong gede”-an. Lha wong seorang purnawirawan jenderal tetangga orangtua saya saja memberi “uang duka” jutaan kok.

Kesalahan terbesar ayab dan saya ternyata sama: menganggap orang akan tahu terima kasih, terutama bila pernah dibantu. Tapi ternyata tidak!

{Bersambung ke tulisan berikutnya…} 

[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FaceBook (F.B.) utama penulis pada tanggal yang sama.]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s