Sejak Kelahiran Hingga Kematian

Kelahiran dan kematian, termasuk dalam rangkaian misteri ketetapan Tuhan atas kehidupan. Setiap yang hidup, pasti akan mati. Tidak hanya manusia, tapi juga tumbuhan, hewan, dan makhluk lain. Apa yang membedakan hanya proses, sebab, dan caranya. 

Dengan mengasumsikan kondisi normal, kita manusia tidak akan bisa tahu kapan akan mengalami kematian. Tidak hanya kapan, tapi juga penyebabnya dan di mana. Seorang prajurit misalnya, belum tentu gugur di medan perang, bisa jadi malah kecelakaan lalu lintas. Bahkan bagi yang mencoba bunuh diri sekali pun -itu berarti kondisi tidak normal-, belum tentu “berhasil” menemui kematian. 

Siklus kehidupan seperti yang tergambar dalam ilustrasi artikel ini juga merupakan “kondisi normal” seorang manusia. Tidak selalu semua orang mengalaminya. Bisa saja masih bayi sudah meninggal. Seorang anak dimungkinkan mendahului orangtuanya.

Apa yang terjadi setelah kematian juga misteri bagi kita yang masih hidup. Meskipun ada yang membuat pengakuan “mati suri”, kondisi tersebut “tidak normal”, sangat kasuistis, personal dan anomali. Teks kitab suci pun demikian. Pengikutnya tentu percaya apa yang dituliskan kitab sucinya dan diajarkan pemuka agamanya. Namun, percaya dan yakin tak perlu fakta dan data. 

Kenyataannya, apa yang terjadi pasca seseorang meninggalkan dunia fana ini tetap merupakan misteri. Tak bisa dibuktikan secara empirik.

Kematian Ayah saya sendiri merupakan sebuah “kejutan” bagi kami. Beliau hanya mengeluh lemas karena sakit perut usai menyantap nasi Padang. Tiga hari mengalami kondisi seperti itu dan menolak dibawa ke dokter atau R.S. Sepanjang siang di tanggal 20-10-2019 tubuh Beliau terasa panas dan banyak berkeringat, namun tetap bisa berkomunikasi. 

Ba’da Maghrib, tubuh Beliau mendadak dingin seperti es, namun malah masih bisa bercanda. Sekitar jam 20-an, Beliau memanggil saya, cuma untuk berkata “Ajari Bapak menerima kenyataan”, yang membuat Ibu dan saya tertawa karena nadanya bercanda. Hati saya langsung “deg” karena itu pertanda jelas sekali. Tengah malam 20-10-2019 ke dinihari 21-10-2019, beliau sudah sulit berkomunikasi.
Saya tahu, itu tanda “sakaratul maut“. 

Saya pun tidak tidur malam itu, sementara Ibu dan Istri saya tidur seperti biasa. Sejak tengah malam itu, saya terus men-talkin Beliau. Ada beberapa kejadian spiritual yang terjadi sepanjang dinihari hingga Shubuh. Tapi saya ****sensor**** karena tidak ingin riya‘ dan ujub. Selain juga tak ada faedahnya diceritakan, malah bisa menimbulkan salah sangka dan keliru tafsir. 

Saya dan Istri sejak sore hari 20-10-2019 sudah berkoordinasi dengan Ketua R.T. yang kebetulan tetangga depan rumah persis. Kami berniat membawa paksa Ayahanda ke R.S. dengan ambulance pada pagi hari 21-10-2019, meskipun Beliau tidak bersedia. Namun, apa daya, Allah S.W.T. memerintahkan malaikatullah Izrail a.s. mencabut nyawa Beliau, tepat jam 05:00 pagi.

Ayahanda saya menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan saya dan istri, dengan tangan saya menggenggam tangan Beliau. Lamat-lamat Beliau sempat mengucapkan “Allah” sebagai kata terakhir yang keluar dari mulutnya. Dengan begitu, semoga Beliau “khusnul khotimah“. Insya Allah. Aamiin ya Rabbalalamiin.

{Tulisan ini merupakan bagian kedua dari serial “Pelajaran Kehidupan Dari Wafatnya Ayahanda”.}

[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FaceBook (F.B.) utama penulis pada tanggal yang sama.]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s