Misteri Tuhan

Selama berabad-abad peradaban manusia, bahkan sejak manusia dianggap belum beradab, Tuhan selalu dan masih menjadi misteri. Tidak sekedar debat mengenai keberadaan Tuhan saja, bahkan bagi yang mengakui adanya Tuhan, masih berdebat lagi tentang seperti apakah Tuhan itu. 

Kajian agama di berbagai kampus dunia mempelajari, bahwa manusia menyembah ribuan Tuhan-Tuhan sejak sejarah mencatatnya. Itu pun masih ditambah dengan masa pra-sejarah yang tak tercatat. Padahal masa itu lebih panjang.

Di Indonesia, kerapkali masalah Tuhan dijadikan dangkal sekedar pada penerapan ritual keagamaannya saja. Bahkan, justru lebih sering sekedar di permukaan yang “cetek” seperti pemakaian atribut. Padahal, masalah filosofis ketuhanan jauh lebih rumit. 

Mereka yang masih meributkan atribut atau ucapan selamat merayakan hari keagamaan hampir pasti akan bengong kalau ditanya: “Memangnya Tuhan di agamamu imanen atau transenden?” Gak nyampe otaknya. 

Menjangkau Tuhan jelas bisa lewat akal. Itulah tugas filsafat terutama filsafat ketuhanan atau filsafat agama. Sementara agama sendiri kerapkali melakukannya dari atas melalui indoktrinasi. Dan karena takutnya manusia bisa “menemukan Tuhan” melalui akal budi, institusi agama kerapkali melarang filsafat. Para pemuka agama kerapkali meminta pengikutnya “pasrah bongkokan” kepada mereka. Mengikuti tanpa mengkritisi. 

Tuhan memang harus dicari. Agama harus dialami. Tanpa itu, manusia akan terjebak pada doktrin dan rutinitas semu yang dialaminya sejak lahir. Mayoritas manusia memang hanya beragama mengikuti agama orangtuanya saja. Sekedarnya. Mereka tak berani menantang diri sendiri menemukan kebenaran. 

Kerapkali pencarian kebenaran juga ‘nyasar’ ke jalan lain. Bahkan jalan tanpa Tuhan. Itu bisa terjadi karena pencarian dilakukan atas dasar kekecewaan kepada yang lama, bukan karena cinta. Terkadang juga karena keangkuhan sebab merasa mengerti semua.

Padahal, bila jalan yang ditempuh benar, sang pejalan akan terkejut di tiap tikungan. Kenapa? Karena makin banyak ia tahu, ia justru makin tahu bahwasanya ia sebenarnya tidak tahu. 

Itulah yang terjadi dengan saya di malam wafatnya ayah saya. Saya terpukau pada begitu bodohnya saya. Tuhan ternyata tidaklah seperti yang saya kira. Selama ini saya terlampau sombong. Merasa mengerti Tuhan hanya karena sudah menempuh pendidikan akademis dan membaca ratusan buku. 

Padahal, Tuhan lebih besar daripada itu semua. Tuhan adalah hal terbesar yang bisa dipikirkan manusia. Itulah salah satu jalan “menemukan Tuhan” dari lima argumen logis “Quinque Viae”-nya St. Thomas Aquinas, yang ditulisnya dalam buku “Summa Theologica”.

Setiap kali memikirkan Tuhan, saya merasa begitu kecil. Namun, justru dengan itu, Tuhan membesarkan saya. 
Proses wafatnya ayahanda saya yang sangat cepat dan mudah diwarnai sejumlah peristiwa pengalaman spiritual yang membuat saya tercerahkan. 

Pengalaman mana tak elok untuk dikisahkan. Karena efek sampingnya bak pisau bermata ganda bagi saya. Di satu sisi bagi yang tidak percaya, hal itu akan dianggap sejenis halusinasi dan delusi. Sedangkan bagi yang percaya, malah akan mencederai posisi saya di kehidupan karena dianggap semacam orang-orang yang tampil di TV itu. 

Satu yang jelas, pengalaman itu membuat saya makin sadar, bahwa misteri Tuhan memang tak terperi. Namun, bila diizinkan oleh-Nya, kita akan diperbolehkan menyelami. Dan itu seharusnya membuat yang mengalami menjadi bestari. 

{Tulisan ini merupakan bagian pertama dari serial “Pelajaran Kehidupan dari Wafatnya Ayahanda”.}

[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FaceBook (F.B.) utama penulis pada tanggal yang sama.]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s