Ini era medsos. Apalagi di negeri yang pemakai medsosnya masuk 5 besar terbanyak di dunia. Bahkan berita media arus utama saja tak jarang mengutip medsos. Maka, muncullah profesi yang satu dekade lalu bahkan tak terbayangkan: pembuat isi medsos (socmed content creator). Itu bisa berarti youtuber, juga termasuk buzzer.
Selain isi atau muatan (content) bernuansa hiburan, ternyata tema agama dan politik pun laku keras di Indonesia. Apalagi di tengah masyarakat dengan tingkat literasi rendah, mudah terbentuk khalayak pasca kebenaran (post truth society).
Kenyataan itu membuat para pembuatnya pun mendapatkan penghasilan yang tak jarang menyilaukan. Status mereka pun naik, selain “pansos” juga mendadak “famous“. Media massa arus utama pun turut meliputnya, memberikan mereka panggung. Mereka lantas menikmati “5 minutes famous“. Terkenal sesaat.
Tidak hanya menjadi nara sumber media, mereka juga kerap diundang seminar dan semacamnya. Sungguh pun keahlian dan kemampuan mereka kerap kali tak sebanding dengan kemegahan muatan yang dibuatnya. Tapi khalayak umum yang tak tahu tak peduli. Kerapkali memuja mereka bak dewa. Padahal, bisa jadi isi yang mereka buat cuma plagiasi. Atau malah berisi ujaran kebencian dan kebohongan.
Keterbelahan sosial yang terlanjur terjadi membuat kebanyakan orang hanya memilih isi sesuai seleranya saja. Itu masih ditambah algoritma medsos untuk mendukung pemasaran pengiklannya. Kalau pengguna pernah meng-klik satu tautan iklan saja, dianggap tertarik kepada tema itu. Apalagi berita dan muatan lain, makin sering dibaca, tema semacam akan terus berulang memenuhi linimasa.
Pendengung atau buzzer sendiri semestinya bisa dikontrol. Karena bagaimana pun itu bisnis. Ada perusahaan yang menjual jasa penyebaran informasi kepada siapa pun yang membayar. Belum lagi perorangan yang entah bagaimana hanya karena banyaknya pelanggan/pengikut (followers) account medsosnya, justru lebih dipercaya daripada humas atau penerangan resmi.
Sedangkan influencer (pemberi pengaruh) lebih berupa proses seleksi alami oleh pasar. Pembuat muatan yang diminati akan lebih mudah berkembang jadi influencer. Sulit meredamnya kecuali dengan membuat isi yang lebih menarik.
Saya sendiri menahan diri untuk tidak menjadi apa pun, baik buzzer maupun influencer. Terutama untuk muatan bertema politik dan agama. Apalagi demi sekedar “ketenaran lima menit”. Maka, justru ketika di tataran nasional terjadi hal-hal yang saya kuatirkan sejak beberapa tahun lalu, dan saya punya banyak data tentangnya, saya malah melakukan “GTM” (Gerakan Tutup Mulut). Dalam konteks medsos, mungkin lebih tepatnya “Gerakan Jari Diam” atau “GJD”. Hehe….
Infografis: kompas.com, diambil dari hasil pencarian di google images
[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FaceBook (F.B.) utama penulis pada tanggal yang sama.]