Tanggal 10 Oktober diperingati sebagai “Hari Kesehatan Mental/Jiwa Sedunia”. Saya concern dengan itu karena seperti tulisan saya kemarin, saya pun menderita sejumlah indikasi ke arah sana. Sejak 20-an tahun lalu, saya sudah menyadarinya dan mencari bantuan.
Dua symptom yang saya punya dan Joker juga punya, adalah narcissistic dan megalomania. Delusi juga ada beberapa macam. Karena saya sudah berhasil mengontrolnya, maka seringkali saya tersenyum bila ada teman yang masih begitu. Saya tidak punya hak menegakkan diagnosa. Saya juga tidak berhak menyarankannya berobat. Apalagi bila ia masih berfungsi secara sosial.
Nah, indikasi terakhir itulah pembeda penderita skizofrenia akut dengan manusia lain. Kemampuan berfungsi secara sosial. Penderita tidak mampu berfungsi secara sosial sehingga tidak sadar pada ucapan dan tindakannya, dan oleh karenanya ia tidak bisa dimintakan pertanggungjawabannya. Hukum agama Islam membebaskannya dari kewajiban syariah terutama shalat fardhu, hukum positif negara membebaskannya dari hukuman untuk kriminalitas.
Kondisi “terkena serangan” itu tidak terjadi setiap waktu. Apabila sedang sehat, penderita mampu berinteraksi normal, seperti mengobrol atau bermain. Namun apabila sedang “relapse” ia menjadi individu berbahaya karena ketidakstabilannya. Ia bahkan mampu membunuh dalam kondisi kegilaannya.
Karena kondisinya mirip “kesurupan”, maka banyak orang yang gagal paham menstigma bahwa gangguan kejiwaan adalah karena lemah iman atau diganggu jin. Padahal tidak ada hubungannya. Gangguan kejiwaan adalah penyakit. Serupa dengan penyakit fisik lainnya. Organ yang diserangnya adalah otak dan hormon.
Dalam Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5) yang terbit Mei 2013, terdapat banyak jenis gangguan psikologis (psychological disorder) yang dideteksi. Buku tebal tersebut adalah rujukan bagi para ahli kesehatan jiwa sedunia, baik psikiater (dokter spesialis kejiwaan) maupun psikolog klinis.
Artinya, selain ada banyak jenis gangguan kejiwaan lainnya. Phobia misalnya, adalah gangguan kejiwaan ringan. Anda takut ketinggian, ruang sempit, kecoa, tikus, gelap, bahkan setan, itulah phobia.
Jadi, jangan karena merasa “normal” lantas menempatkan diri lebih tinggi derajatnya daripada orang yang menyandang status ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Lha wong narsis (misalnya hobby selfie berlebihan dengan selalu foto-foto di mana pun dan sering mengunggahnya di medsos) saja sudah gangguan jiwa kok.
Semua manusia sama dan sederajat di mata Tuhan. Apa yang membedakan adalah perbuatan dan amal kebaikannya. Memangnya kita sudah berkontribusi apa bagi sesama?
[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FaceBook (F.B.) utama penulis pada tanggal yang sama.]
Kredit Ilustrasi:
– Featured Image: news unair
– Infografis Artikel: kompas com