Sebagian besar status FB friends yang menyinggung karakter fiktif tersebut keliru, salah paham atau misleading. Malah, saya duga beberapa di antaranya cuma ikut-ikutan saja biar terlihat update kekinian, padahal belum menyaksikan filmnya.
Kekeliruan tersebut, andaikata Joker adalah tokoh nyata, bisa-bisa disomasi karena pencemaran nama baik. Hehe. Apalagi ditambah adanya meme berisi kutipan kata mutiara yang sesungguhnya tak ada di filmnya.
Kekeliruan yang pertama adalah mencap Joker sebagai “orang gila”.
Nope.
Dia tidak gila dalam konotasi skizofrenia akut. Namun, dia menderita gangguan jiwa atau penyakit mental. Apa yang ditampilkan dalam film adalah narcissistic dan psychopatic. Masih ditambah depresi akut dengan kecenderungan menyakiti diri sendiri hingga nyaris bunuh diri. Kemudian dia malah menyakiti dan membunuh orang lain.
Joker adalah karakter villain. Penjahat sebagai lawan dari superhero yang juga fiktif: Batman. Dalam komik dan filmnya, ada beberapa versi latar belakang kehidupan sehingga jelas memberikan variasi alternatif jalan cerita. Peristiwa terbunuhnya kedua orangtua Bruce Wayne di film ini saja berbeda dengan di “Batman Begins” (2005).
Karena dia penjahat, tentu aksi yang dilakukannya adalah kejahatan yang melanggar hukum. Kriminal. Ia harus bertanggung-jawab atas perbuatannya yang merugikan orang lain. Karena itu Batman dan aparat penegak hukum lain di kota Gotham melawannya.
Nah, andaikata ia gila, dan itu bisa dibuktikan di pengadilan, maka ia bebas dari tanggung-jawab. Ia tidak dipenjara, melainkan dirawat di Rumah Sakit Jiwa. Karena Joker psikopat, maka ia mampu memanipulasi orang lain sehingga keliru menilai. Meski tidak secara mendetail diceritakan di film ini, Joker nantinya sempat dirawat di Arkham Asylum seperti ibunya.
Kekeliruan lain seringkali dipengaruhi oleh konsep keliru dari sejumlah agamawan dan motivator. Itulah “senang” dan “bahagia”. Dalam bahasa Inggris lebih rancu karena sama-sama “happy“, dengan “happiness” lebih diartikan sebagai kebahagiaan.
Bahagia bukan berarti selalu senang. Apalagi senang kerapkali dihubungkan dengan sukses. Sementara sukses diidentikkan dengan banyak uang. Bahagia bukan berarti selalu tertawa seperti topeng badut-badutan. Sehingga perlu memaksakan wajah ceria ke mana-mana seperti Joker.
Satu yang jelas, “bahagia tidaklah sederhana”. Karena itulah Joker senantiasa mengejarnya. Demikian pula banyak “orang-orang kalah” -meminjam judul lagu Iwan Fals- di luar sana. Juga Jordan Belfort seperti digambarkan dalam film “The Pursuit of Happyness” (2006). Dan saya.
Tak salah istri saya berkomentar lirih usai menyaksikan film ini, “(derita) Joker itu kamu banget ya…” Dan sesampainya di rumah, saya sempat menangis mengingat sejumlah kesamaan saya dengan Arthur Fleck yang malang. Betapa beratnya saya menahan diri agar tidak berubah jadi seperti Joker.
[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FaceBook (F.B.) utama penulis pada tanggal yang sama.]