Beberapa hari lalu, saya terperangah membaca narasi -bukan caption (keterangan foto)- dari foto-foto di FB milik seorang jurnalis muda. Fotonya biasa, tapi narasinya khas aktivis kiri. (Kiri itu bukan komunis lho ya, belajar lagi deh bagi yang mengira begitu.).
Saya memang mengamati, beberapa teman dan/atau kenalan aktivis kiri yang kerap mendapatkan pendanaan dari barat seringkali bersikap kritis. Itu masih biasa dan bisa jadi bagus sebagai masukan.
Namun, narasi sang jurnalis bukanlah kritis, melainkan apatis bahkan anarkis cenderung provokatif. Padahal, seorang jurnalis haruslah bisa membedakan fakta dan opini.
Status dan foto itu membuat saya tak bisa tidur malam itu. Tapi apalah daya saya? Saya cuma rakyat jelata biasa. Lha wong saat ini saja saya membuat status di tempat tidur di rumah, bukan di lapangan.
Saya prihatin karena masih banyak yang belum sadar bahwa negara kita memang terancam bubar. Bisa jadi bukan tahun 2030 seperti dikisahkan novel “Ghost Fleet”, mungkin malah bisa lebih cepat. Dan itu tampaknya makin diusahakan oleh “the invisible hand” yang bukan ala Adam Smith.
Masih ada teman-teman yang sibuk seminar atau ngobrol ngalor-ngidul. Masih banyak aktivis yang larut dalam euforia kemenangan jagoannya di Pilpres atau Pileg. Masih tak berkurang netizen yang terbiasa menjadi reaktifor*) belaka di medsos, hujat sana-sini apa pun “trending topic” yang dirasanya tak sesuai pendapatnya.
Untunglah masih banyak juga yang bekerja. Mereka yang rela kurang atau bahkan tidak tidur, demi warga bangsa yang lain bisa nyenyak tidur. Kepada merekalah saya menyalutkan hormat setinggi-tingginya, seluas-luasnya, dan sedalam-dalamnya.
Si vis pacem para bellum.
*) Istilah iseng ciptaan saya. Maksudnya orang yang reaktif atas suatu isyu dan gampang “meledug” seperti reaktor nuklir.
Foto ilustrasi: dreamstime.com, diunduh dari hasil pencarian melalui google images
[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FaceBook (F.B.) utama penulis pada tanggal yang sama.]