Aib

Apa sih aib itu? Seorang business coach yang sebenarnya cukup dekat dengan saya pernah berkomentar, bahwa saya membuka aib keluarga saat menulis bahwa ayah saya pernah selingkuh. Bahkan, dugaan saya selingkuhannya itu telah dinikahinya secara siri. 

Saya tidak setuju.

Itu bukan aib. Perbuatan hina yang dilakukan dengan sadar bukanlah aib.
Aib bagi saya adalah sesuatu yang kita dapatkan secara tak terelakkan. Penyakit atau kelainan bawaan secara genetis adalah aib. Misalnya -maaf- ukuran alat vital yang di bawah rata-rata. Maka, ketika seorang tokoh publik secara tak sengaja terekspose alat vitalnya karena memakai celana ketat, seharusnya kita menutupi aibnya, bukan malah merisaknya.

Sebaliknya, segala tindakan sadar bukanlah aib. Pemerkosaan, pembunuhan, korupsi yang merupakan kejahatan kriminal melanggar hukum positif bukan aib bagi pelakunya. Ia seyogyanya dibuka identitasnya agar ada efek jera dan hukuman sosial. Khusus dalam kasus dimana ada korban, justru seharusnya korban yang dilindungi. Pemerkosaan misalnya, adalah aib bagi korban.

Problema dilematis baru muncul saat terjadi “kejahatan moral”. Karena tindakan semacam itu selain relatif parameternya, juga banyak yang masuk “ranah privat”. Maka, ada saja yang menganggap tindakan tersebut termasuk “aib”. Sehingga tak elok bila diungkap kepada khalayak.

Sebenarnya ukuran “aib” mirip dengan “dosa”: sesuatu yang hati nurani kita tak nyaman dengannya. Bedanya, dosa adalah akibat dari perbuatan yang dilakukan, kebanyakan secara sadar. Aib, justru terjadi tanpa si penderita menginginkannya apalagi melakukannya secara sadar.

Siapa sih yang tahu aib kita selain Tuhan, malaikat dan diri sendiri? Biasanya orang terdekat. Bisa orangtua atau pasangan. Tapi seringkali malah sahabat atau teman dekat. Apalagi bila statusnya “partner in crime“. 

Tuntunan agama saya menganjurkan menutupi aib orang lain. Maka, insya Allah saya pegang rahasia aib orang yang dipercayakan kepada saya. Memang, kadangkala saya menulisnya sebagai studi kasus. Tujuannya adalah sebagai pelajaran hidup. Namun perhatikan, sesuai hadits, saya tidak pernah menyebutkan nama orang/pelakunya saat mengulas sebuah kasus. Itu ghibah

Seringkali tindakan saya memutuskan hubungan dengan seseorang kurang dimengerti atau dipahami orang lain. Terkadang orang itu malah “bermain drama” seolah ia dizalimi. Karena saya selalu menyimpan setiap bukti, maka biasanya bila ada permintaan konfirmasi, yang bersangkutan akan terdiam tak mampu membantah lagi.

Kadang, bila kerugiannya immateriil, penyebab pemutusan hubungan itu saya tidak ungkap jelas. Kalau kerugiannya materiil dan signifikan, tentu akan saya kejar. 

Maka, hari ini saya tersenyum sendiri, saat seorang “mantan kepercayaan” saya membuka “aib”-nya sendiri melalui unggahan status di FB. “Aib” yang bukan aib karena jelas itu perbuatan sadar. Jadi, teman-teman di organisasi yang saya gagas sekarang jadi tahu kan, kira-kira orang seperti apakah beliau itu? Apa yang diunggahnya sendiri di FB itu cuma puncak gunung es lho dari kelakuan yang bersangkutan lainnya. Joss deh, pokoke…

Gambar ilustrasi: Sampul buku “No Talks” karya Andrew Clements terjemahan bahasa Mandarin (China), diunduh dari China Sprout sebagai hasil pencarian melalui Google Images.

[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FaceBook (F.B.) utama penulis pada tanggal yang sama.]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s