Dua foto yang saya unggah di sini sempat mondar-mandir di linimasa saya. Karena tidak ada kredit dan keterangan (caption) foto, tidak jelas kapan dan di mana foto itu diambil.
Sebelum melanjutkan tulisan ini lebih dalam, tolong pahami dulu posisi saya. Dalam konteks agama, sila pertama Pancasila kita jelas menyebutkan negara kita berketuhanan. Namun, kita bukanlah negara teokrasi. Karena itu, seyogyanya agama tidak boleh disinergikan secara total ke dalam kebijakan negara. Mewarnai tentu saja boleh. Karena itu saya menentang pemberlakuan Perda Syariah dan semacamnya. Karena Indonesia seharusnya untuk semua agama. Bukan sekedar terbuka bagi agama terlembaga (organized religion) yang non-mayoritas pemeluknya, tapi juga agama adat nenek moyang.
Dua foto terpampang adalah pemberlakuan kebijakan yang tidak sesuai dengan semangat tersebut. Apalagi institusi yang melakukannya nota bene “milik negara”. Bahkan andaikatapun pemilik pom bensin adalah swasta atau perorangan, SPBU tersebut adalah kerjasama dengan Pertamina, sebuah BUMN. Jadi, tidak semestinya ada kebijakan yang tidak bijak semacam itu.
Akan tetapi, melebarkan masalah dengan mengejek para penghafal dan pengamal kitab suci adalah tindakan yang sama fasisnya. Saya mendapati beberapa FB friends di beberapa account milik saya melakukannya. Dan ketika ditilik, profilnya ternyata kelas menengah atas dan berpendidikan tinggi. Sayangnya lagi, beliau-beliau itu ada yang aktivis lho. Dan ternyata semuanya adalah umat agama lain. Andaikata saja ini masih masa Pemilu dan ada yang “iseng” melaporkan, isi status semacam itu bermuatan serupa dengan ucapan lisan yang menjerat BTP. Kita tahu, selain sang mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut, ada sejumlah orang lain yang dibui karena membuat muatan di media sosial yang bernada hasutan, ujaran kebencian, atau kabar bohong.
Saya pribadi tidak mau repot-repot melaporkan. Namun, izinkan saya sedikit memberikan penjelasan.
Pertama, kitab suci bagi umat Islam adalah sesuatu yang dipandang sangat tinggi. Ia sangat dimuliakan melebihi semua figur manusia pemuka agama mana pun (kecuali the Prophet PBUH himself tentu saja). Bahkan ia disebut sebagai mukjizat terbesar Sang Nabi S.A.W. Kenapa begitu? Nanti saja saya ulas kalau sempat di tulisan lain.
Kedua, membandingkan kitab suci antar umat beragama secara serampangan adalah kebodohan dan keserombonoan. Ada kajian akademis untuk itu. Misalnya dalam studi perbandingan agama atau menggunakan metodologi hermeneutik.
Ketiga, menyamaratakan seluruh umat Islam sebagai satu golongan yang sama dengan pihak yang membuat dan menerapkan kebijakan serupa dengan dua foto terpampang adalah kekeliruan besar. Sama saja dengan agama lain mana pun di dunia, terdapat pengelompokan dalam keumatan agama kami. Itu semua disebabkan perbedaan penafsiran dan panutan yang diikuti.
Keempat, menganggap umat Islam langsung bisa masuk surga hanya dari satu pintu “penghafal kitab suci” (hafidz) adalah keliru. Apalagi membandingkan dengan ibadah di agama lain. Itu jelas kesalahan kategoris yang fatal karena tidak apple to apple. Masih ditambah menghina dan meremehkan para hafidz seakan mereka semua teroris. Padahal, di mata semua Muslim yang baik, posisi hafidz sangatlah dihormati.
Kelima, merendahkan ritual, ibadah, relikui, dan segala hal ihwal yang diimani agama lain sesungguhnya adalah “blasphemy“. Apalagi diikuti dengan meninggikan agama sendiri. Alangkah baiknya atas nama kemanusiaan (humanity) dan dalam rangka membangun dialog lintas iman, sikap dan tindakan semacam itu dihindari.
Maafkan bila tulisan ini panjang dan menjemukan. Saya pikir mengedukasi dengan penjabaran semacam ini lebih memberikan manfaat -walaupun mungkin sedikit- daripada sekedar berkomentar singkat di status yang bersangkutan.
#DamaiIndonesiaku
[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FaceBook (F.B.) utama penulis pada tanggal yang sama.]