Ada beberapa tipe orang yang saya tidak bisa maafkan. Hampir seluruhnya tidak terkoneksi di account FB ini. Ada yang saya “unfriend“, namun juga ada yang sejak awal memang tidak pernah saling “add friend“.
Semua karena berbuat kesalahan di dunia nyata. Bukan sekedar karena ucapan atau tulisan, tapi tindakan. Jadi, please jangan seenaknya menuduh saya “baper”.
Meskipun saya termasuk perasa, tapi saya selalu kedepankan rasio dan keadilan. Tidak ada yang saya musuhi karena sekedar ucapan atau tulisan. Paling hanya dicoret dari “daftar teman”. (Terima kasih pada Laila Sofianty yang memberikan pemahaman bahwa “bukan temen” dan “musuh” itu berbeda.).
Pertanyaan sederhana: “apakah anda akan memaafkan orang yang berusaha membunuh anda atau orang yang anda cintai?” Pertanyaan itu harus ditanyakan kepada diri sendiri di depan cermin. Bukan oleh jurnalis. Karena ada peluang pencitraan diri sebagai orang bijak dan pemaaf bila diwartakan media massa.
Perhatikan saja berita saat seorang pembunuh disidangkan. Kerapkali keluarga korban begitu emosional hingga hendak main hakim sendiri. Hukuman 15 tahun penjara saja terasa kurang. Padahal, hukuman macam apa pun tak bisa menghidupkan korban kembali.
Bagi saya, jawaban atas pertanyaan itu adalah “big no-no!!!”
Semakin tua saya, semakin paham bahwa saya berjalan ke arah sebaliknya dari kebanyakan orang. Mungkin mirip Inka Prawirasasra yang menyatakan dirinya pernah jadi “people pleaser“.
Bedanya mungkin, saya dari dulu justru terlalu kaku pada prinsip untuk bisa membuat orang senang pada saya. Saya tahu saya bukan orang yang menyenangkan. Dan sangat sedikit orang yang tulus menyenangi saya. Dulu, semua itu merisaukan. Karena beberapa kali saya gagal meraih tujuan cuma karena soal “like & dislike” itu. Kini, I don’t give a damn shit about that. Sabodo teuing lu mau gak suka gue, toh gue gak ngelanggar hukum dan juga gak ngerugiin hak lu. Itu yang ada di pikiran saya sekarang.
Maka, saya tak ambil peduli ketika seorang senior tanpa pemberitahuan (dan jelas bukan karena saya berbuat kesalahan) mencoret saya dari daftar “dewan redaksi” media daringnya. Lha wong dia bayar saya saja enggak kok. Padahal kalau dia mau menjadikan saya pegawainya secara profesional, ya gak mampulah dia bayar. Saya sekedar membantu dia saja waktu itu. Malah saya bayar untuk biaya cetak kartu pers dan kartu nama. Ala-ala “koran kuning” jadoel gitu lah… Saya tidak memusuhinya, cuma mencoretnya dari daftar teman saja. Bahkan saya tidak unfriend dia di account FB ini.
Tapi saya tidak bisa memaafkan seorang yang mengkhianati kepercayaan saya di organisasi. Dia sudah saya “naikkan derajat”-nya jadi orang nomor dua setelah saya. Saya menafikan status sosial nyatanya yang jauh di bawah kebanyakan teman di jajaran pengurus. Saya berikan beberapa kali kesempatan memperbaiki diri termasuk dengan klarifikasi saat bertemu langsung. Semua itu dibuangnya. Maka, saya pun tak ragu membuangnya dari “daftar teman”. Tentunya juga mencoretnya dari daftar pengurus organisasi. Di account FB ini, dia juga sudah saya unfriend.
Dua contoh kasus itu menunjukkan bagaimana saya menyikapi satu hal serupa. Pertama saat saya “di bawah”, kedua saat saya “di atas”.
Ada kasus lain, dimana ada orang-orang jahat yang menzalimi saya beserta istri. Sudah begitu jahatnya, malah menuntut kami yang minta maaf. Lah, itu bagaimana? Masa’ korban yang disuruh minta maaf? Ya jelas “enggak lah yauw!”
Lalu bagaimana kalau mereka satu saat mau menekan egonya dan minta maaf?
Saya akan jawab seperti cara Don Vito Corleone dalam trilogi The Godfather (1972, 1974, 1990): “Tuhan memang Maha Pemaaf. Tapi saya, tidak!”
Featured image: wattpad sffina_ , diambil dari google images
[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FB utama penulis.].