Memajukan Pancasila

Kemarin, saya membaca tulisan panjang Mas Yudi Latif, Ph.D. di kolom opini harian Kompas. Tulisan bernas yang sangat panjang hingga memakan tempat 1 halaman penuh! Judulnya “Memanjurkan Pancasila”.

Terinspirasi semangat tulisan tersebut, di Hari Lahir Pancasila 1 Juni ini, saya menuliskan judul “Memajukan Pancasila”. Kata “memajukan” di sini saya maksudkan bermakna ganda: mengedepankan dan memodernkan. Kalau tidak malas, inginnya sih saya unggah juga dua tulisan lain terkait tema Pancasila di situs blog publik. Tapi sekarang saya tuliskan dulu satu versi sebagai status FaceBook yang tentunya akan saya unggah ulang (cross-posting) di blog pribadi saya.

Saya mungkin termasuk “anak aneh” sewaktu sekolah dulu. Karena saya begitu menyukai pelajaran P.M.P. (Pendidikan Moral Pancasila). Demikian pula pelajaran terkait seperti P.S.P.B. (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Itu masih ditambah kesukaan mengikuti ekstra kurikuler yang selalu bertema “bela negara” seperti P.K.S., Pramuka, dan Paskibra. Hanya karena orangtua tidak mengizinkan, saya tidak mendaftar ke AKABRI.

Sewaktu kuliah dan wajib mengikuti Penataran P-4, dengan naifnya saya baru tahu kalau kebanyakan orang justru tidak suka mempelajari dasar negaranya sendiri. Alasannya kebanyakan karena membosankan. Kondisinya seperti ditulis oleh Mas Yudi Latif, Ph.D. kemarin di harian Kompas: “Keberadaan Pancasila saat ini ibarat kitab suci dengan kertas yang rombeng. Dibuang takut kualat, dipakai tak lagi terbaca.”


Mengedepankan Pancasila

Keengganan orang mempelajari -apalagi sampai tahapan menghayati dan mengamalkan- Pancasila, tak terlepas dari kemuakan kepada rezim Orde Baru. Lihat saja, begitu rezim totaliter-diktatorial itu tumbang, BP-7 langsung dibubarkan. Penataran P-4 juga ditiadakan. Demikian pula pelajaran P.M.P. dihapuskan (walau kemudian diganti P.P.K.N.).

Hal itu karena Soeharto begitu manipulatif terhadap Pancasila. Dengan liciknya, ia memakai Pancasila sebagai senjata melawan Soekarno dan rezim Orde Lama. (omong-omong, penamaan “Orla & Orba” juga stigma dari Soeharto lho.). Sepanjang Soeharto berkuasa, peran Soekarno sebagai “Penggali Pancasila” disamarkan. Hari Lahir Pancasila pun diperingati pada 18 Agustus, bukan 1 Juni.

Dengan entengnya, Orba melabeli segala hal yang mereka anggap sesuai dengan “Pancasila”. Mulai dari “manusia Pancasilais” hingga “ekonomi Pancasila”. Terjadi inflasi pemakaian terma “Pancasila” di mana-mana. Para pejabat negara mendapuk diri sebagai “paling Pancasilais” dan pantas dijadikan teladan terbaik dari penghayatan dan pengamalan Pancasila yang 36 butir itu. 

Faktanya? Kita semua tahu bahwa di zaman Orba hampir tak ada pejabat yang ditangkap karena korupsi. Selain karena belum ada K.P.K., justru terjadi pemerataan korupsi! Para pejabat dan penyelenggara negara dalam struktur pemerintahan ramai-ramai membudayakan korupsi. Apakah korupsi itu sesuai Pancasila? Bila saja rezim Orba masih berlanjut kekuasaannya, bisa jadi akan ada sebutan “koruptor Pancasilais” !

Kini, 21 tahun pasca reformasi, terasa sekali pentingnya mengedepankan kembali Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia masih menghadapi ancaman dari “musuh lama”-nya: paham kapitalisme dan sosialisme, walau kini sudah bertransformasi. Di sisi lain, kita juga menghadapi menguatnya ancaman politik identitas dan gerakan trans-nasional. 

Pancasila selama ini adalah senjata ampuh yang menjaga keutuhan N.K.R.I. Apalagi, adanya ancaman separatisme yang masih membayangi. Dibalut demokrasi & H.A.M., masih ada segelintir pengkhianat bangsa yang ingin menjadi “raja lokal” dengan ancaman memerdekakan diri. Kita semua menengarai, beberapa orang pendukung capres-cawapres yang kalah mulai menggaungkan isyu ini. Padahal, sejatinya itu adalah agenda asing yang ingin memecah-belah bangsa kita.

Mengedepankan Pancasila bukan sekedar menghidupkan kembali aneka seremoni dan pembelajaran semata. Lebih daripada itu, kita harus berani menjadikan Pancasila sebagai solusi bersama. Apalagi menghadapi agitasi dan propaganda paham Islamisme trans-nasional yang slogannya mirip Teh Botol itu: “apa pun masalahnya, khilafah solusinya”.

Kini, di abad ke-21 di mana telah terjadi Revolusi Industri 4.0, muncul tantangan baru: masih relevankah Pancasila? Jawabannya jelas dan tegas: masih & selalu! Konstitusi A.S. yang sejak 1776 saja masih dipakai kok, masa’ kita yang baru tahun 1945 sudah dianggap usang?


Memodernkan Pancasila

Untuk itulah kita perlu memodernkan Pancasila. Pancasila harus dipandang sebagai semacam komoditas yang harus dijual. Konsumennya adalah warga bangsa kita sendiri. 

Apalagi sekarang sudah ada Gen-Z atau millenial yang mulai dewasa dan memasuki usia produktif. Perspektif mereka dalam menghadapi dunia yang terbentang di hadapan tentu berbeda dengan generasi sebelumnya. Kecenderungan instan dan berpikir praktis, membuat Pancasila tak bisa lagi diajarkan secara indoktrinasi. 

Harus ada upaya bersama dari para “stake-holder” untuk memodernkan Pancasila. Dengan demikian, ruh dan semangatnya bisa kembali mewarnai segala sendi kehidupan kita. Kita akan bangga membahas dan mengamalkan Pancasila di ruang publik. Tak lagi malah dianggap aneh dan kuno oleh “anak jaman now”.

Apabila Pancasila sudah “laris-manis tanjung kimpul” di dalam negeri, tentu saja kita juga bisa “menjual Pancasila” kepada dunia internasional. Seperti pidato Bung Karno di hadapan Majelis Umum P.B.B. di tahun 1963 yang berjudul: “To Build The World a New”.

Pancasila memang bukan kitab suci yang sakral. Walau pun profan, apabila kita masih ingin Indonesia hidup seribu tahun lagi, maka memajukan Pancasila adalah sebuah keharusan.

[Tulisan ini pertama kali diunggah sebagai status di account FaceBook utama saya.]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s