Muslim Gado-Gado

Saya tidak tahu, apakah ada di antara teman FaceBook di sini yang seperti saya: “Muslim gado-gado”. Jangan tersinggung dulu, apalagi menuduh saya “menistakan agama” cuma dari membaca judulnya. 
Bacalah lebih lanjut…

Latar belakang keluarga saya sebenarnya adalah “abangan”. Ini tentu bila mengikuti kategorisasi dari Clifford Geertz. 

Apa artinya? Gampangnya, “Islam K.T.P.”. Data kependudukannya Islam, tapi tidak melaksanakan syariat Islam dasar semestinya.

Ayah saya misalnya, sejak saya lahir sampai sekarang, saya tidak pernah melihatnya menegakkan shalat atau melaksanakan puasa Ramadhan. Akan tetapi, Ibu saya seorang Hajjah yang pernah menjadi pengurus masjid.

Saya nyaris tidak mendapatkan pengajaran agama selain pendidikan agama di sekolah formal. Saya baru mampu mengaji lancar di kelas 2 S.M.P. dengan memanggil guru ngaji privat. Sejak S.M.P. pula, saya kerap membeli buku-buku agama. Toko buku Walisongo di kawasan Kwitang dan toko buku D.D.I.I.*) di Kramat seringkali saya datangi. 

Setelah itu, minat saya pada ke-Islam-an tumbuh pesat. Saya cukup sering mengikuti kegiatan di berbagai tempat, seperti Masjid Agung Sunda Kelapa di Menteng-JakPus, Masjid Agung Al-Azhar di Kebayoran-JakSel, atau Masjid Raya Pondok Indah di Pondok Indah-JakSel. 

Selain itu di S.M.A. saya pun kerap berkumpul bersama teman-teman rohis walau tak resmi jadi anggotanya. Di lingkungan rumah orangtua, saya malah sempat menjadi Ketua Remaja Masjid.

Sewaktu kuliah adalah masa elaborasi terkerap saya. Terjadi pergulatan pemikiran dan pergumulan batin luar biasa saat itu. Saya memasuki badan kemahasiswaan bernuansa Islam hingga menjadi anggota H.M.I.**). Di masa ini juga saya sempat mengenal sejumlah nama yang kini jadi besar di dunia politik, menjadi petinggi partai politik bernuansa keagamaan. Namun, saya tidak tertarik masuk lebih dalam di jaringan dakwah mereka. Satu hal yang kini sangat saya syukuri.

Dulu, saya cukup ketat dalam beragama. Manhaj Salafi adalah panutan saya. Kini, masih ada yang tersisa sedikit. Antara lain saat shalat, saya masih menggulung celana hingga di atas mata kaki. 

Saya terus melanjutkan kesenangan mengoleksi dan membaca buku sejak S.D. Hingga kini, dari sekitar 3.000-an koleksi buku saya, sekitar 2/3-nya adalah buku bertema agama, termasuk agama selain Islam dan perbandingan agama. 

Kini, setelah membandingkan, saya mencampur berbagai hal dalam keagamaan yang menurut saya paling sesuai. Karena itulah, saya menyebutnya “Muslim Gado-gado”.

Sebagai contoh, untuk shalat tarawih saya banyak menggunakan cara Muhammadiyah yang 11 raka’at. Namun, apabila saya shalat di masjid N.U. yang imamnya menegakkan 23 raka’at, ya saya ikuti sampai selesai. Saya tidak keluar untuk shalat sendiri. Demikian pula untuk shalat Shubuh, bila shalat sendirian atau menjadi imam, saya tidak memakai Qunut.
Namun, saya hafal. Sehingga bila imam memakainya, tidak masalah. Kalau untuk tahlilan, saya malah lebih sering mengikutinya bila diadakan di lingkungan, seperti nahdliyin. 

Akan tetapi, dalam dunia politik, saya sama sekali tidak pernah kontak dengan elemen Muhammadiyah mana pun. Itu karena haluannya condong “ke sonoh”. Saya malahan menjadi salah satu admin grup “Sahabat Ansor” yang N.U. Konsep “Islam Nusantara” rasanya lebih cocok di hati daripada Islam trans-nasional ala H.T.I. & I.S.I.S.

Sementara dalam pemikiran keagamaan, saya terbuka seperti “liberal”. Walau saya sama sekali tidak pernah hadir di acara yang diadakan J.I.L.***)-nya Mas Ulil. 
Masih ada lagi beberapa ramuan keagamaan yang “gado-gado” lainnya dalam hidup saya. Apalagi sejak berusia 24 tahun, saya sudah menjadi “wayfarer” dan menempuh “jalan sepi”. 

Apakah menjadi “Muslim Gado-gado” itu salah?

Ya. Apabila dipandang dari perspektif “Islam garis keras”. Walau sebenarnya, penerapannya sehari-hari ya biasa saja. Namun, saya bisa jadi akan ditangkap bahkan dipenggal, apabila kelompok Islam “yang onoh” berkuasa. 

Karena itulah saya ikut berjuang sebisanya melawan mereka. Sebab, Indonesia adalah rumah bagi semua. Seharusnya juga untuk semua pemeluk agama dan kepercayaan, dengan beragam tafsirnya. Tanpa perlu kuatir dicap sesat, bid’ah, dan semacamnya. Apalagi sampai dipersekusi dan diperlakukan tidak manusiawi.

*) Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia

**) Himpunan Mahasiswa Islam

***) Jaringan Islam Liberal
Gambar ilustrasi: Tech In Asia, diunduh dari hasil pencarian menggunakan Google Images

[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FaceBook (F.B.) utama penulis pada tanggal yang sama.]

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s