Dalam bahasa Latin, terma Kristiani “jalan salib” adalah “via crucis”. Namun, dalam teologinya, kerap disepadankan dengan “via dolorosa” yang arti tekstualnya adalah “jalan penderitaan”.
Istilah ini terkait kejadian yang diimani umat Nasrani: penyaliban Yesus Kristus. Kenaikan Yesus Kristus yang diperingati hari ini adalah puncak dari rangkaian 40 hari “masa Paskah”. Dalam liturgi gerejawi modern, setelah hari ini masih diperpanjang hingga hari ke-50 yang disebut “Pentakosta”.
“Jalan salib” merupakan sebutan bagi rangkaian perjalanan Yesus saat akan disalib. Dalam pengajaran, maknanya diperluas menjadi “way of life” umat Nasrani.
Sebagai Muslim, saya mengagumi konsep “jalan salib” ini. Sebenarnya, konsep asketisme ini ada di semua agama dan kepercayaan. Tentu dengan istilah berbeda. Tak ada orang suci yang tidak menderita. Sekurangnya, walau pun ia kaya atau berkuasa, cemoohan akan diterimanya dari orang-orang yang tak percaya pada ajarannya.
Tak ada orang suci yang sepanjang hidupnya hanya bersenang-senang saja. Malah, kebanyakan menempuh “jalan penderitaan” dengan melepaskan hasrat duniawi. Tidak ada kebahagiaan sejati di dalam kesenangan dan kejayaan. Sebaliknya, hakekat hidup ada saat mampu memaknai kesedihan dan kegagalan.
Tuhan menciptakan manusia secara unik. Setiap orang dibekali dengan “perlengkapan khusus”, termasuk pula “seperangkat masalah hidup”.
Terkadang dalam “jalan salib” yang saya tempuh, justru timbul rasa jumawa saat sedang “menikmati penderitaan”. Sehingga timbul kalimat semacam: “andaikata orang lain menempuh hidupku, niscaya ia tak akan bertahan barang sehari pun.”
Saat perasaan congkak itu datang, saya cuma perlu bertanya pada cermin: “yakin lu?”
Janganlah kita menganggap “jalan salib” kita paling terjal dan berbatu. Belum tentu.
Tak usah jauh-jauh ke Suriah yang rakyatnya menderita karena perang yang disulut proxy asing berdalih isyu agama, pergi saja ke persimpangan jalan dekat rumah. Di sana bukan hanya ada pengemis dan pemulung, tapi juga banyak orang lain yang menempuh “jalan salib”-nya sendiri dengan profesi masing-masing. Belum tentu saya sanggup memanggul “kayu salib”-nya.
Karena itulah, saya selalu senantiasa mengingatkan diri sendiri untuk menunduk, berserah, dan melepaskan. Sebagai “salik”, “jalan salib” yang saya tempuh menuju “ridho”-Nya amatlah sulit. Namun, justru dengan meneladani derita Yesus Kristus saya belajar menguatkan diri. Karena setiap orang punya “jalan salib”-nya sendiri, hanya saja kita yang tidak tahu. Biarlah hanya Tuhan tempat kita mengadu.
Ilustrasi: hidupkatolik.com
[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di FaceBook utama penulis pada tanggal yang sama.].