Saya sengaja menulis dan mengunggah tulisan ini pasca-1 Oktober . Untuk menghindari luapan informasi bertema senada di linimasa. Sudah banyak tulisan beragam sudut pandang. Dan karena ini bukan tulisan ilmiah, maka saya tak mau berpusing-pusing mencari referensi. Tulisan ini murni pandangan pribadi semata. Terlepas dari apa pun atribusi duniawi yang melekat atau dilekatkan pada saya saat ini atau di masa lalu.
Begini, “Peristiwa 1965” itu memang kejahatan atas kemanusiaan. Saya rasa semua sepakat pada hal itu. Apa yang menjadi perdebatan adalah pelaku, otak intelektual, dan detail kejadian historis. Karena “Peristiwa 1965” terkait dengan perebutan kekuasaan, maka adagium sejarah diterapkan: “Sejarah ditulis oleh pemenang”. Narasi besar dibangun selama masa kekuasaan sang pemenang.
Celakanya (atau untungnya?) kekuasaan sang pemenang tak lama, bahkan tak selama hidup pemimpin kelompok pemenang. Oleh karena itu, masih sempat ada kisah di luar narasi besar yang beredar. Dan kisah itu terutama dari para saksi maupun korban dari beragam kalangan.
Sejak hari-hari awal saja sudah terjadi beda persepsi akan apa yang terjadi. Bahkan juga dari istilah. Gerakan yang terjadi lepas tengah malam 30 September 1965 itu sebenarnya sudah masuk ke dinihari 1 Oktober 1965. Maka, Presiden Soekarno pun menyebutnya “Gestok” alias “Gerakan Satu Oktober” di berbagai kesempatan termasuk dalam “Nawaksara”.
Namun kelompok Soeharto dengan sengaja mengabaikan fakta waktu kejadian historis sebenarnya. Mereka ngotot menyebutnya “Gestapu”, akronim dari “Gerakan September Tiga Puluh”. Sebuah singkatan yang aneh dan tidak lazim dalam bahasa Indonesia.
Istilah “G 30 S/PKI” sendiri seingat saya muncul kemudian terutama karena adanya “versi sejarah resmi Orde Baru” yang ditulis oleh Brigjen TNI (Purn.) Prof. Dr. Nugroho Notosusanto.
Istilah “Gestapu” jelas dimirip-miripkan dengan “Gestapo”, organ kepolisian rahasia milik Nazi Jerman. Siapa musuh utama Nazi Jerman di Perang Dunia 2? Tentu Amerika Serikat. Apakah A.S. terlibat dalam peristiwa 1965 di Indonesia?
Banyak ahli menganalisis demikian. Namun semua dugaan itu tentu tinggal spekulasi belaka. Karena jelas bukti hitam di atas putihnya tak pernah ada. Penggunaan istilah yang bisa diasosiasikan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan yang besar seperti yang dilakukan Nazi Jerman tentu bukan tanpa maksud.
Bagi saya sendiri, “Peristiwa 1965” itu penting. Karena faktor pribadi yang sudah pernah saya tuliskan di beberapa kesempatan. Tetapi, selain untuk kepentingan studi sejarah dan rekonsiliasi, saya kira tak perlu menghidupkan “hantu” yang telah lama mati. Apalagi demi ambisi dan nafsu kekuasaan belaka.
Membongkarnya selain untuk tujuan rekonsiliasi cuma membuka luka lama yang ternyata masih bernanah di hati dan pikiran sebagian masyarakat Indonesia. Nyaris tak ada gunanya, malah cuma mengancam keutuhan bangsa.
Kalau mau netral, saya sendiri mengusulkan penggunaan istilah “Peristiwa 1965” daripada ketiga istilah lain yang kerap digunakan. Sehingga baik “Gestapu”, “Gestok” atau “G 30 S/PKI” tak lagi digunakan.
[Tulisan ini ditulis pada 1 Oktober 2017 malam dan dikirimkan ke redaksi selasar. Dimuat pada 10 Oktober 2017 lalu. Artikel dapat dibaca di situs selasar ini. Pengunggahan ke blog ini sengaja ditunda demi eksklusivitas tulisan di situs tersebut.]