Sudut Pandang

Seorang teman bergelar pendidikan tinggi dan bangga menyandang sebutan profesi bersertifikasi di depan namanya terdiam saat saya bertanya, “Istrimu tahu?” Dan sejurus kemudian dia menjawab lirih, “Nggak”.

Itu karena dirinya memandang perbuatannya “menjadi supir pribadi” bagi seorang teman wanita kami yang datang dari luar kota adalah biasa saja dan normal. Sementara saya memandang hal itu sebagai perselingkuhan. Apakah saya memandang dari sudut pandang saya sebagai pria? Tidak. Itu sudut pandang normal wanita. Dan saya memposisikan diri melihat masalah itu sebagai istrinya. Saya yakin istrinya akan marah besar bila tahu hal itu. Sebagai catatan, tindakan itu bukan tugas kantor atau semacamnya, tapi sukarela alias “voluntarily”.

Untuk kasus yang sama, andaikata hal itu terjadi pada saya, dengan santai saya akan ceritakan kepada pasangan. Karena selain saya bukan anggota ISTI, juga “nothing happened with my heart”. Dan saya selalu mencari pasangan yang mampu menerima saya apa adanya, jujur dan terbuka. Tidak ada rahasia antara saya dan pasangan. Karena memang tak ada yang ditutupi. Selingkuh adalah dosa besar bagi saya. Karena itulah yang menghancurkan orangtua saya.

Kemampuan memahami sudut pandang orang lain dan dunia yang bak “wawasan nusantara” sudah saya miliki sejak kanak-kanak. Silahkan ditanyakan kepada keluarga inti saya. Karena saya adalah pemimpin utama secara hierarkhis bagi keluarga besar yang jumlah kami sudah ratusan orang sekarang. Bayangkan saja, di usia SMP saya sudah membantu menyelesaikan perselingkuhan paman saya yang usianya 40-an. Dan masih ada yang bilang saya tidak mampu melihat sudut pandang orang lain?

Bagi yang netral saja -bahkan tidak perlu berpikir positif- dalam memandang dan menilai saya dan tulisan saya di status FB, akan “cool” & “woles”. Gak perlu “baper”. Apalagi di status pribadi -non politik- yang jelas tidak menyindirnya. Nah, terlebih bila kenal saya di dunia nyata, tinggal ngajak ngopi saja toh bila dirasa ada masalah?

Itu juga yang saya tanyakan kepada beberapa teman ahli bila ada perbedaan sudut pandang saya dengan orang lain. Saya selalu mencari perspektif dulu sebelum ambil keputusan.

Kalau mungkin terlewat oleh anda, bila berkenan scroll down di wall saya, di bulan Agustus saya sempat buat tulisan berseri. Itu adalah “analisa ahli” yang jelas dari perspektif saya tentang seorang wanita yang sempat saya pacari. Untuk sampai pada kesimpulan itu, saya membaca kembali literatur dan bertanya setidaknya pada empat teman. Satu doktor dan tiga magister profesi. Itu untuk memastikan sudut pandang saya bisa dipertanggungjawabkan. Padahal itu cuma soal cewek doang lho!

Untuk diketahui, secara epistemologis, perspektif selalu subyektif. Walau parameter yang digunakan dalam “Sistem Pengambilan Keputusan” diupayakan seobyektif mungkin. Dan “analisa ahli” pastinya ya dari sudut pandang si ahli bersangkutan.

Apakah mungkin misalnya, untuk menegakkan diagnosa penyakit tiap orang pasiennya, seorang dokter -demi tidak subyektif memakai sudut pandang dirinya- lantas menggelar konferensi, lokakarya atau simposium para dokter ahli di bidangnya terlebih dahulu? Jelas tidak. Dia bisa berpendapat mandiri. Itulah gunanya kompetensi dan keahlian. Di mana itu bisa didapat melalui pendidikan atau pengalaman.

Jadi, silahkan berpendapat. Dan itu jelas perspektif subyektif. Sudut pandang orang lain boleh dipertimbangkan, tapi tak boleh jadi satu-satunya alasan pengambilan keputusan. Karena itulah esensi demokrasi. Kebebasan berpendapat dengan bertanggung-jawab, seraya menghargai pendapat dari sudut pandang berbeda.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s