Hari ini adalah 1 Muharram 1439 Hijriah, tahun baru Islam. Asal mau membaca, tentu tahu almanak Islam ini beda. Bukan dihitung dari hari kelahiran pendiri agama, tapi dari peristiwa historis yang dilakukannya. Dan peristiwa itu adalah hijrah pengikut Islam awal untuk menyelamatkan diri dari ancaman. Mirip eksodusnya kaum Israel.
Saya tak hendak bahas sejarah. Saya ingin membahas soal hijrah terkait diri sendiri.
Hijrah biasanya terkait dengan pergi, bergerak dari satu situasi yang menghimpit ke keadaan baru yang diharapkan lebih baik. Bisa secara fisik, namun banyak juga yang tidak.
Dalam terminologi kaum beragama yang menggunakan tafsiran metode tertentu, hijrah kerap diartikan “beragama dengan lebih taat”. Mengambil beberapa aspek “zuhud” dan “takwa” yang dianggap sesuai. Akhirnya jadi simbolisme yang mengental. Berjenggot panjang dan bergamis, tapi masih mengkoleksi moge dan gemar touring. Herannya, mereka yang merasa sudah “berhijrah” ini gemar pula memandang sinis orang lain yang tak sekelompok dengan mereka. Hasilnya? Radikalisme dan intoleransi merajalela. Ya, merekalah yang antara lain menyebut dirinya “alumni 212” itu.
Padahal, hijrah yang sejati seharusnya menjadikan manusia bak padi: makin berisi makin merunduk. Mereka bisa jadi “rahmatan lil ‘alamiin” yang sebenarnya. Bukannya malah menebarkan kebencian dan ketakutan.
Saya, malah sudah “hijrah” dari posisi itu. Dahulu, di usia akhir belasan hingga dua puluhan, saat teman-teman saya sibuk “berpesta & bercinta”, insya Allah saya malah melarutkan diri dalam perenungan mendalam akan makna kehidupan. Sehingga kini, saat usia kepala empat ketika teman-teman saya terdera “guilty feeling” telah “hubud dunya” dan menebusnya dengan beragama secara simbolis, saya malah sudah “hijrah” dua kali meninggalkannya.
Karena saya sadar, Tuhan saya tidaklah seperti yang mereka persangkakan. Dan justru mereka telah terjebak dalam “dosa iblis” ketika menolak perintah Tuhan menghormati Adam a.s. Dosa kesombongan. Yakin kebenaran mutlak hanya ada pada dirinya sendiri. Di mana seharusnya, Al-Mutakabbirun hanyalah Dia Yang Maha Sombong.
Wallahu’alam bishawwab…
CMIIW
[Tulisan ini diunggah pertama kali di account FaceBook utama penulis di tanggal yang sama.]