Lebenswelt #3
Pemaksaan kehendak atas penerapan “standar” dalam “lebenswelt” yang dianut satu kelompok memang paling tampak saat ada dialektika di tingkat publik. Tentu saja selain karena melibatkan orang banyak juga sifatnya yang terbuka. Sementara untuk dialektika di ranah privat tentu tertutup, terbatas hanya diketahui oleh pihak yang terlibat.
Bayangkan andaikata para pecinta kopi yang berhasil meraih kekuasaan melalui Pemilu lantas mencanangkan “gerakan wajib minum kopi nasional”. Selera kelompok menjadi standar bangsa. Maka bagi yang tidak doyan atau tidak suka kopi akan dicambuk di lapangan. Malah yang berani menentang kewajiban minum kopi akan dituduh makar dan bisa dihukum pancung.
Konyol bukan?
Namun, kekonyolan yang tampak kasat mata itu menjadi kelumrahan saat diimbuhi “marketing gimmick” tertentu. Baik yang bersifat agitasi dan propaganda yang keras maupun persuasi dan narasi yang lembut. Misalnya ada kampanye “minumlah kopi jadilah kaya” atau “kopi, minuman surgawi”.
Tak heran, banyak orang terbujuk rayuan dan bujukan. Bila tak mempan, tentu ditambahi ancaman dan kekerasan. Malah tak jarang keduanya dipadukan sekaligus.
Padahal, semua itu bermula dari “gagal paham” soal konsep “lebenswelt” tadi. Dan di tingkatan lebih besar, kemudian detail apa saja yang perlu dimasukkan ke dalam “kontrak sosial” berbangsa dan bernegara.
Makin otoriter dan totaliter suatu negara, pemerintahan dan aparatnya akan diberikan hak mencampuri ranah privat individual sejauh mungkin. Kembali ke contoh konyol soal kopi tadi, bahkan cara meminum kopi pun diatur. Misalnya ada aturan tak boleh menuang kopi ke piring kecil seperti lazim dilakukan saat minum kopi “nasgitel” dengan gelas kecil. Meminum kopi harus dengan cangkir saja. Karena itu aturan hukum, melanggarnya tentu ada konsekuensi hukumannya.
(Bersambung)
[Tulisan ini semula diunggah di account FaceBook utama penulis]