Benarkah Kita Sudah Saling Memaafkan?
Peringatan Awal: Tulisan ini akan menohok. Lebih baik tak usah dibaca.
Saya menuliskan ini jam 2-an dinihari dalam suasana hati sedih. Bukan sekedar karena bertengkar dengan pasangan, bukan juga seperti para ahli ibadah yang rindu Ramadhan, tapi mengingat betapa basinya arti maaf.
Forgiven, but not forgotten.
Sebenarnya itu yang banyak terjadi dalam hidup keseharian kita. Penerapannya lebih parah: “Lu boleh aje minte maap, tapi terserah gue dong mau maapin ape kagak. Nyang pasti gue kagak bakalan minte maap duluan. Karena biar gimane, lu selalu salah. Dan jangan ngarep bakal gue lupain ye!”
Lebaran kali ini saya mengulangi kebiasaan belasan tahun lalu. Saat saya pontang-panting mengunjungi rumah para sahabat, sementara tak satu kali pun mereka pernah berkunjung ke rumah saya saat Idul Fitri. Kali ini saya lebih selektif tentunya. Bukan hanya karena keterbatasan waktu, tapi juga tenaga dan uang.
Bahkan via W.A. atau S.M.S., hanya dari 5 orang saya menerima permintaan maaf duluan. Sisanya sayalah yang lebih dulu mengirimkan. No baper. Cuma menulis fakta. Kan saya sudah berkali-kali menuliskan bahwa saya sangat tahu diri bahwa saya bukanlah siapa-siapa.
Ironisnya, tak ada satu pun orang yang jelas bersalah pada saya sudi meminta maaf. Boro-boro datang berkunjung, lha via pesan pendek saja tidak. Malah ada beberapa yang saya mengirimkan pesan permintaan maaf duluan. Alhamdulillahirabbil’alamiin. Malah itu bisa jadi “tabungan” saya kelak di akherat. Terima kasih ya… 😉
Pertanyaannya, benarkah kita sudah saling memaafkan?
Untuk yang tak ada interaksi di dunia nyata, maaf itu mudah. Tapi untuk sakit hati yang pernah terjadi, itu tak mudah.
Bahkan cuma sekedar di dunia maya medsos seperti FB ini. Tersinggung cuma karena status seseorang di dindingnya sendiri yang dirasa “menyindir”. Bukan di kolom komentar atas status yang bersangkutan, lho.
Oh ya, saya sadar kok ada yang begitu ke saya. Mulai dari tadinya sering like sampai nihil like hingga unfriend. Barusan saja malah saya baru ‘ngeh’ telah di-unfriend beberapa kawan lama, entah disebabkan apa. It’s OK buat saya. Lha wong dengan pasangan saja saya unfriend kok. Demi kebaikan kami bersama.
Cuma urusan tersinggung kata-kata lho. Bukan hal nyata seperti hutang-piutang. Bahkan mungkin kata-kata itu bukan dimaksudkan untuk yang bersangkutan. Begitu pun maaf yang tulus tampak sulit keluar dari hati terdalam.
Saya tidak mengurusi hati orang lain. Saya cuma mengurusi hati saya. Itu pun sudah sulit.
Saya bahkan tak tahu apakah benar sudah mampu memaafkan. Karena salah saya terbesar kedua -setelah kepada Tuhan- adalah kepada diri sendiri.
Apakah saya telah memaafkan saya?
Entahlah.
[Tulisan ini awalnya diunggah di Facebook utama penulis]