Kenapa?

​

Itu pertanyaan yang ditanyakan friends di Facebook saat semalam saya menuliskan “status terakhir”. Ya. Saya memutuskan untuk berhenti menuliskan status dan mengunggah materi lain di media sosial itu. 

Tentu mengherankan karena di account utama selain sudah full 5.000 friends juga ada followers hampir 4.000 accounts. Umumnya teman malah senang dengan kondisi itu. Karena tiap kali melakukan apa pun di FB, akan banyak interaksi. 

Tapi saya merasa itu membuat saya jadi ujub dan takabbur. Seolah saya adalah “selebritas” atau orang terkenal. Padahal, itu cuma di media sosial saja. Status “seleb medsos” saya sebenarnya juga masih jauh dari sejumlah teman lain. Ada yang sudah belasan bahkan puluhan ribu followersnya. Tak heran, tiap kali menulis status likers-nya ratusan bahkan bisa di atas seribuan. 

Oh ya, saya  bukan generasi millenial. Juga bukan tipe sosialita. Atau para eksis updater. Saya tipe intelektual. Maka, seperti blog ini, di FB pun kebanyakan saya mengunggah tulisan yang bersifat edukatif. Memang kebanyakan bernuansa politik-kenegaraan. Tapi terkadang juga pembelajaran dari pengalaman pribadi.

Apabila cukup panjang, adakalanya saya unggah juga di blog ini. Bila status pendek biasanya cuma lucu-lucuan saja.

Toh “tepuk-tangan” di panggung itu membuat saya terpaksa terus “bermain drama”. Lama kelamaan saya lelah.

Apalagi dua pekan terakhir ada perkembangan baru di hidup nyata saya. Unggahan di media sosial sering menjadi masalah. 

Maka, bila pertanyaannya kenapa. Maka jawabannya singkat. Cuma tiga kata: kecewa, sedih, dan marah. Itu saja.

Kalau ada kesempatan, mungkin suatu saat saya akan tambahkan penjelasan di tulisan lain. Tapi saat ini, saya merasa cukup.