Diskriminasi #1​

Anda pernah didiskriminasi? Saya sering. Walau secara teori sosiologi saya multiple majority di negeri ini: Jawa, Islam, dan pria. Bahkan dengan menggenggam sejumlah privilege seperti status sosial, kecerdasan, atau akses jaringan.
Lho? Bagaimana bisa? 
Bisa. Karena saya aware soal ini. Semua berawal dari ketidaksukaan kepada saya. Dislike. Sangat subyektif sifatnya. Diskriminasi adalah lawan dari keadilan dan kesetaraan. Tapi mana yang kita butuhkan? Hal ini kita bahas di kesempatan lain. 
Saya cuma berikan contoh diskriminasi yang saya alami. Saya bisa bedakan yang karena kealpaan, kelalaian atau ketidaksengajaan. Bisa jadi karena kebiasaan. Saya ambil contoh dulu untuk yang kedua ini.
Sebagai orang Jawa, saya terbiasa menjamu tamu. Tapi saya perhatikan ada beberapa teman etnis tertentu tak punya kebiasaan serupa. Bisa jadi itu kasuistis hanya pada “oknum” teman saya saja. Karena pada kunjungan pertama yang berlangsung lebih dari satu jam saya bahkan tak diberi segelas air pun -yang kalau beli air mineral kemasan paling cuma gopek-, pada kunjungan kedua saya “tahu diri”. Saya mampir minimarket dan membeli bekal minuman sendiri. Bahkan secara demonstratif saya minum di depan dia, tetap saja tak sadar. Tapi itu bukan diskriminasi. Karena tampaknya ia memang melakukan itu ke semua orang. Tipe yang menganggap tamu sebagai pengganggu saja. Walau saya jelas tak datang mendadak melainkan minta jadwal lebih dulu.
Terasa diskriminasi bila perlakuan kepada saya dan orang lain berbeda. Contoh lagi masih dari bertamu. Agar tak terlalu jelas siapa dan apanya, contohnya tetap soal minum saja ya. Mudahnya, kepada saya ia tak memberi minum, bahkan menawari saja tidak. Tapi kepada teman saya yang berkunjung di lain waktu ternyata malah dijamu habis-habisan.

Foto: felikirejnic.com