Catatan Pahlawan Kesiangan

Terma “pahlawan kesiangan” seringkali dinisbahkan pada individu memiliki peran penting di suatu peristiwa monumental, namun sejatinya tidak. Pendeknya, orang ini “mengaku-aku” sebagai pelaku penting, tetapi sebenarnya tidaklah sepenting itu. Tentu, sifatnya adalah ejekan atau hinaan.

Maka, biarlah sebelum orang lain yang kini banyak bergabung dalam berbagai forum “mantan aktivis ‘98” itu menuding saya begitu, saya justru menjuluki saya sendiri begitu. Toh, mau bagaimana pun peran saya yang mungkin kecil tapi signifikan itu diabaikan, sejarah telah mencatatnya. Media massa mulai dari Kompas hingga Time pernah memuat nama saya dan kiprah media reformis yang saya pimpin. Demikian pula sejumlah buku akademis-ilmiah populer. Hanya sangat sedikit mahasiswa aktivis ’98 yang namanya terabadikan begitu rupa bukan? 

Tentu saja di luar empat orang Pahlawan Reformasi yang gugur di Universitas Trisakti. Saksi sejarah akan kiprah saya juga memadai dan valid kredibilitasnya. Tapi cukuplah sampai di situ.
Kali ini, saya hendak memuat kisah saya di seputar hari bersejarah itu: 21 Mei 1998. Di hari yang saya dan teman-teman secara harfiah benar-benar kesiangan!

Saya sebenarnya merupakan bagian dari tim pendahulu (advance team) yang ikut bertemu Wakil Ketua MPR-RI saat itu Letjen TNI (Purn.) Syarwan Hamid sebelum rombongan besar mahasiswa “menduduki” gedung DPR-MPR RI pada 18 Mei 1998. Karena saya bertanggungjawab atas keberlangsungan penerbitan media reformis yang satu-satunya yang terbit harian saat itu, maka tentu saya tak bisa terus-menerus menginap di gedung parlemen. Maka perjalanan bolak-balik Senayan-Salemba-Depok pun harus saya lakoni demi sebuah tanggung jawab.

Nah, di pagi hari Kamis, 21 Mei 1998 itu, seingat saya kami baru tiba hampir tengah malam di Kampus UI Salemba pada Rabu malamnya. Saat itu, kantor redaksi sementara kami menumpang di sekretariat BPM-PE FEUI (Badan Perwakilan Mahasiswa-Program Ekstension Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia). Hal itu atas jasa Wien Muldian, mantan Pemimpin Umum/Redaksi Suara Mahasiswa U.I. yang memiliki jaringan luas. Dan sesampainya di kantor redaksi, kami tentu tak langsung tidur, melainkan terus bekerja. Sehingga kami baru tidur sekitar jam 3 pagi.


Ba’da
Shubuh, masuk sejumlah informasi dari beberapa teman, bahwasanya kemungkinan ada “perkembangan baru” terkait situasi nasional. Apalagi tepat sehari sebelumnya pada Hari Kebangkitan Nasional, suasana ibukota sangat tegang. Ini merupakan kelanjutan dari Tragedi Kerusuhan Massal 13-14 Mei 1998 menyusul penembakan di Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998. Meskipun Presiden Soeharto saat itu sedang berada di Mesir, beliau mengetahui hal itu dan segera pulang. Sehingga saat 20 Mei 1998, pemerintahan sudah dipegang langsung oleh beliau sendiri. Melalui Menko Hankam/Pangab Jenderal TNI Wiranto, pemerintah melarang aksi penggalangan massa yang direncanakan diadakan di kawasan Monas. 

Penggagasnya adalah Majelis Amanat Rakyat Indonesia (MARI) yang dipimpin oleh Prof. Dr. Amien Rais. Dinihari Selasa, 19 Mei 1998, muncul isyu bahwa Presidium MARI akan ditangkap sehingga mereka menggelar konferensi pers. Tujuannya tentu agar bila benar terjadi mereka ditangkap, dampak coverage-nya akan mendunia. Tak heran karena peristiwa 1998 memang diliput oleh berbagai media internasional. Maka, pada Rabu pagi, 20 Mei 1998, Amien Rais melakukan call-out (pembatalan) atas aksi di Monas melalui TVRI dan RRI.

Namun di pagi hari 21 Mei, terdengar informasi bahwa Soeharto akan mengumumkan sesuatu dari Istana Negara. Mendengar informasi itu, kami pun segera menyetel televisi dan radio. Telepon masuk bergantian, baik ke sekretriat mau pun ke telepon genggam saya dari teman-teman reporter yang berada di lapangan. Dan kabar itu benar: Soeharto berhenti sebagai Presiden R.I.!

Konyolnya, saat itu di Kampus U.I. Salemba benar-benar kosong. Di pos satpam saja tak ada orang. Juga di posko tenda K.B.U.I. yang berada di pelataran dekat masjid Arief Rahman Hakim. 

Maka, saya pun mencoba mencari orang di sekertariat Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran U.I. sekaligus kantor redaksi Media Aesculapius. Di sana ada dua orang yang berjaga. Bersama -seingat saya- dua orang dari tim redaksi kami dan seorang dari BPM PE-FEUI, kami lantas mencari bendera merah putih di lobby gedung utama FKUI. Dan dengan kekonyolan upacara ala kadarnya, kami pun menaikkan bendera kebangsaan itu ke tiang bendera tepat di depan gedung FKUI yang legendaris itu. Bah! Benar-benar perayaan kemenangan reformasi ala pahlawan kesiangan! Belum pada mandi pula!

Segera setelah bendera berkibar, kami pun berkabar ke banyak tempat. Saya mengontak Achmad Nurchoeri Soekarsono –saat itu Pemimpin Umum bergerak!– yang masih di rumah. Ia pun segera meluncur ke Salemba. Disusul oleh Wien Muldian dan sejumlah teman yang berada di Depok. Kami memutuskan untuk mencari Rama Pratama, saat itu Ketua Senat Mahasiswa U.I. yang tengah berada di gedung DPR-MPR. Kebetulan Rama, Wien, Achmad dan saya sama-sama sudah memiliki telepon genggam yang saat itu masih sangat langka. Sehingga komunikasi dan koordinasi lebih mudah dilakukan.

Ide saya sederhana: Mahasiswa U.I. harus menggelar “apel kemenangan” di Kampus U.I. Salemba. Dan representasi resmi organ kemahasiswaan U.I. adalah Senat Mahasiswa dengan Ketuanya adalah Rama Pratama. Semua yang hadir termasuk Ketua BPM PE-FEUI dan Ketua SM-FKUI setuju dengan ide saya.

Maka, menggunakan mobil saya dan Achmad, kami meluncur ke Senayan. Di sana, kami menyebar berbagi tugas. Teman-teman reporter dan fotografer mencari berita. Sementara saya, Achmad dan Wien mencari Rama. Akhirnya kami menemukannya di lobby gedung antara gedung utama Grahasabha Paripurna dengan gedung Nusantara. Ia sedang bersiap karena akan diwawancara suatu televisi asing. Karena belum dimulai, Wien menggamitnya menyingkir dan Achmad pun segera berbicara dengannya. Wawancara pun terpaksa batal. Kami hendak menculik Rama. Hampir saja upaya kami berhasil. 

Namun, di tempat parkir serombongan mahasiswa dari KAMMI yang dipimpin Fahri Hamzah mendekati kami. Dan merekalah yang justru berhasil membawa Rama ke mobil mereka. 

Seingat saya, ada dua reporter kami yang berhasil ikut ke mobil tersebut yatu Hanggonoto Adikesuma dan Arief Anggoro. Mobil saya berjalan keluar beriringan dengan mobil yang ditumpangi Fahri Hamzah dan Rama Pratama. Setelah masuk ke jalan Gatot Subroto, kami mendapat kabar dari reporter di mobil tersebut bahwa mobil akan dibawa ke kediaman Amien Rais. Saya pun menelepon Achmad yang sudah meluncur ke Salemba, dan diputuskan bahwa kami akan melepaskan Rama dan memilih menyiapkan penerbitan hari itu yang sama sekali belum tergarap.

Dan akhirnya sekitar tengah hari bergerak! pun dirilis. Dan seingat saya judul kepala berita yang dipilih adalah “Perjuangan Belum Selesai!” Dan kami, para “pahlawan kesiangan” mengerjakannya dengan tetap masih belum mandi! Hahaha…

*) Pada 1998, penulis adalah Pemimpin Redaksi pertama dan pendiri buletin harian bergerak! –media aksi resmi Universitas Indonesia- satu-satunya media reformasi yang terbit harian saat itu. Juga merupakan Presidium Para Ketua Kesatuan Aksi-Keluarga Besar Universitas Indonesia (K.A.-K.B.U.I.), gabungan organ kemahasiswaan di U.I. yang dibentuk menjelang “pendudukan” gedung DPR-MPR R.I.

Kredit foto: Sarie Febriane/bergerak!

Catatan: Ini adalah versi tulisan asli sebelum diedit oleh tim selasar.com dari tulisan di https://www.selasar.com/jurnal/35792/Catatan-Pahlawan-Kesiangan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s