Sebenarnya ini tak perlu dijelaskan. Satu, saya bukan figur publik. Dua, saya bukan aktivis aktif. Tiga, saat ini saya tidak punya standing position kuat dalam politik.
Namun, mungkin perlu agar teman-teman yang kini sedang berjuang bersama memahami. Dan sekedar sebagai rekam jejak penyikapan.
Ideologi saya adalah ideologi negara. Right or wrong is my country. Apabila ada kasus apa pun, yang salah adalah oknum manusia yang melakukan. Jajaran birokrasi hingga aparat keamanan. Kasus per kasus. Maka, saya mendukung penuntasan semua kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu. Ini semua demi kebenaran dan rekonsiliasi.
Akan halnya agama, saya tetap yakin Islam adalah yang paling cocok bagi saya. Dengan semua mazhab memiliki derajat sama. Selama bersyahadat dan bersyari’at sesuai tuntunan para imam mazhab, maka ia Muslim. Namun, ini tak perlu dipaksakan penerapannya. Karena prinsip “tak ada paksaan dalam agama”.
Tugas pemerintah sebagai pengemban amanat negara adalah menyediakan sarana-prasarana dan memfasilitasi kebebasan beragama bagi warga negaranya. Hal ini berlaku bagi pemeluk semua agama. Termasuk kepada yang minoritas. Juga kepada agama asli Nusantara yang kerapkali dianggap sesat.
Harus dipahami kita bisa hidup berdampingan adalah karena kerja-keras para pendahulu kita. Mereka menyingkirkan perbedaan dan mengutamakan persatuan. Maka, muncullah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Dan disepakati Pancasila sebagai dasar negara. Bentuk Negara Kesatuan pun dipilih dengan pertimbangan matang. Mengubah salah satunya berarti membubarkan negara. Dan itu bukan saja berpotensi menimbulkan kekacauan, tapi juga perang saudara.
Belajarlah dari sejarah. Bukan hanya bangsa kita sendiri, tapi juga sejarah dunia. Dari sumber resmi seperti literatur akademis tentunya, bukan dari “katanya” saja. Apalagi sekedar tahu dari orang yang tak kompeten di bidangnya.
Sejarah mengajarkan bahwa perebutan kekuasaan cuma akan menguntungkan elite. Dalih apa pun yang dibawa cuma alasan semata. Rakyat hanya akan sejahtera bila pemerintah berada di tangan kelompok yang mengutamakan negara kesejahteraan berbasis kompetensi kinerja, bukan atas dasar lainnya. Apalagi bila mengedepankan primodialisme dan sektarianisme.
Dunia saat ini sedang menghadapi arus-balik peradaban. Skenario gabungan “Clash of Civilization”-nya Samuel Huntington dan “The End of History”-nya Francis Fukuyama sedang coba diterapkan. Belum lagi penguasaan dunia ala film “The World Is Not Enough” dipadu ambisi para hawkish dan eskatologis agamis. Dan kita mau tak mau terseret ke sana.
Sekarang tinggal kita yang memilih, apakah akan menjadikan bangsa ini budak negara lain atau tegak berdiri sebagai pemimpin dunia? Mari, utamakan akal-sehat daripada emosi sesaat. Bukan hanya bangsa ini taruhannya, tapi juga masa depan anak-cucu kita.