Saya pernah dirisak habis saat mempersoalkan anonimitas identitas penulis di (alm.) Politikana. Beberapa waktu lalu saat bertemu jajaran pimpinan Kompasiana, saya kembali menanyakan hal itu. Bagi yang mengalami zaman BBS dan MIRC seperti saya (berasa tua bingitz nich), anonimitas seakan menjadi barang berharga. Walau saya sama sekali tak suka chatting di internet, tapi saya amati fenomena “mengaburkan identitas” meruyak sejak saat itu.
Identitas adalah alas, dasar bagi manusia. Tanpanya, kita akan keluar dari pagar batas. Saya mengerti, dalam rezim fasis atau saat kondisi perang identitas bisa berarti hidup atau mati. Karena itu, ada yang mengusulkan sebaiknya identitas ditiadakan saja.
Yah, ini juga bicara “dunia khayalan” di angan belaka. Pertanyaan sederhana saja, kepada yang mengusulkan hal itu, maukah anda asal ber-“kimpoi” dengan sembarang orang lewat? Bukankah identitas tak penting?
Kebanyakan teman yang bicara teori kesetaraan manusia adalah mereka yang kenyang perutnya dari -ironis dan kontradiktifnya- seolah “memperjuangkan” mereka yang lapar. Padahal, kemiskinan itu cuma komoditas bagi mereka. Saya stop di sini soal ini. Mungkin akan saya bahas lain waktu.
Ada juga yang mencerca “kelas menengah ngehe” seraya menyebut pertarungan politik praktis kiwari adalah “perang kelas”. Saya sependapat sebagian. Tapi bukan kelas atas vs bawah atau borjuasi melawan proletariat, melainkan kelas toleran lawan intoleran dan kelas pro-kemajuan vis a vis stagnasi dan kemunduran.
Kelas akan selalu ada. Dan bagi saya, itulah kelemahan paling dasar ide mbah kamerad berjenggot itu. Dan sekali lagi, saya stop di sini dulu.
Di internet dan kini di medsos, seakan kelas juga memudar karena identitas kurang jelas. Tapi sejatinya tidak. Saya punya account FB yang “beda kelas” dengan yang ini. Dan memang isi statusnya berbeda. Dan cuma “orang buta” yang tidak melihat perbedaan kelas itu.
No. Itu bukan sebentuk kesombongan. Karena bahkan di agama ada anjuran bersedekah, memuliakan tangan di atas daripada tangan di bawah. Bukankah itu nyata perbedaan kelas?
Kelas bukan cuma soal ekonomi dan status sosial saja, tapi juga ilmu, pengalaman, dan wawasan. Secara fisik pun ada, diakui atau tidak. Walau untuk yang ini akan menjadi diskriminatif bila ditonjolkan.
Apa yang harus dihindarkan adalah sikap diskriminatif bedasarkan kelas tadi, terutama apa yang kita kenal sebagai SARAS. Tak ada ras yang lebih mulia daripada yang lain. Di soal itu, manusia dianggap setara. Walau faktanya, kelas tetap ada.
Identitas jelas menunjukkan kelas. Ia bisa memberikan akses yang diperlukan untuk suatu kondisi tertentu. Seperti KTP untuk mendapat pelayanan kependudukan atau SIM agar diizinkan mengemudi di jalan umum. Kartu identitas pegawai, kartu bank hingga keanggotaan organisasi juga memberikan akses sesuai peruntukannya. Kartu itu mewakili identitas dan kelas.
Saya selalu berhati-hati soal identitas dan kelas. Di FB, hanya perlu sedikit berusaha untuk lebih teliti. Karena itu sebelum berkomentar di status orang lain, saya selalu memperhatikan dulu siapakah beliau. Meski terkesan egaliter di medsos, operator di baliknya tetap manusia yang punya identitas dan kelas. Gaya bahasa dalam berkomentar pun saya sesuaikan dengan identitas dan kelasnya.
Dengan sikap hati-hati itu, saya mendapatkan banyak manfaat dari FB. Mulai dari teman baru di dunia nyata, sampai memperoleh materi diskusi yang tidak saya hadiri dari seorang profesor baik hati, yang bahkan belum saya kenal di dunia nyata.
Jangan mudah menganggap remeh orang lain. Seperti pernah saya tulis, status FB fungsinya beda bagi tiap orang. Selama tidak melanggar hukum, sah-sah saja. Bagi saya yang berkepribadian introvert dan intuitif serta sehari-hari cenderung soliter, menulis status FB salah satu fungsinya adalah katalis pikiran. Bila memang kemudian ada orang lain yang menganggap bermanfaat, syukurlah. Tapi bila tidak pun tak apa, lha wong saya nggak “caper” kok. 😉
[Tulisan ini untuk memperingati saat saya unfriend di FB orang yang berkomentar kurang ajar dua hari lalu. Padahal sudah tiga kali saya sindir cukup jelas, “mung ora iso rumongso”. Di FB sendiri tulisan yang semula status ini batal diterbitkan dengan berbagai pertimbangan.]