- Lokasi: Wisma Bidakara, Jakarta Selatan
- Hari, Tanggal: Jum’at, 10 Februari 2017
- Penyelenggara: KPU DKI Jakarta
- Tema: Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak, Pemberantasan Narkoba, dan Pelayanan Penyandang Disabilitas
- Moderator/Host: Alfito Deannova Ginting
Dalam debat ketiga atau final ini, pertanyaan disiapkan panelis dan dibacakan oleh moderator seperti biasa. Tidak terjadi perubahan berarti bagi paslon atau kandidat yang berdebat. Namun perubahan justru untuk penonton yang dilarang meneriakkan yel-yel dukungan. Sehingga meskipun lebih tertib, namun suasana menjadi kurang meriah. Sekali lagi saya hanya sedikit meninjau mengenai penampilan para kandidat terutama dari segi komunikasinya. Namun, ada “bonus” karena ini sudah debat final dan terakhir. Kali ini saya sedikit pula mengulas substansi materi yang dipaparkan.
PASLON 1
- Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)
Sangat disayangkan penampilan AHY yang cukup bagus di debat kedua turun di debat ketiga ini. Walau masih lebih baik dibandingkan debat pertama. Ia kembali tampak arogan dan melakukan serangan verbal yang kasar terutama terhadap paslon 2. Dan pastinya ia masih saja tak mampu menjelaskan konsep dan programnya secara gamblang.
Dari segi penampilan terutama kemampuan bicara di hadapan khalayak sebenarnya tidak ada kekurangan berarti. Hanya di masalah isi atau content pembicaraan saja. Paling hanya dengusan sinis terhadap paslon 2 yang agak mengganggu.
Saya tidak tahu apakah hasil survei melalui polling yang menunjukkan trend elektabilitas paslon 1 yang menurun mempengaruhi penampilan AHY. Hanya saja tampak jelas serangan “ad hominem” kepada paslon 2 justru makin banyak dibandingkan dua debat sebelumnya.
- Sylviana Murni (SM)
Sebagai satu-satunya perempuan, aapalagi ia bergelar profesor dan berpengalaman panjang sebagai birokrat, seharusnya SM bisa mengambil keuntungan paling besar di debat ketiga ini. Tentu saja itu terkait tema yang diusung. Sayangnya, hal itu tidak terjadi.
Mantan None Jakarta ini tetap tampil paling buruk dalam keseluruhan sesi debat kali ini. Kesombongannya masih tampak jelas, baik melalui bahasa tubuh (gesture) maupun mimik wajahnya.
Ucapannya pun tak menolong. Meski pun terdengar yakin, tapi ternyata banyak data yang keliru. Secara epik adalah saat ia mengklaim tak ada PNS yang penyandang disabilitas di lingkungan Pemda DKI Jakarta. Dan “bola lambung” itu dengan mudah “di-smash” oleh petahana.
PASLON 2
- Basuki Tjahaja Purnama (BTP)
Setelah debat kedua, rupanya tim sukses petahana belajar dari paslon 3. Ini terlihat dari data yang dipersiapkan dalam bentuk kertas karton berukuran A-3 yang dibawa ke atas panggung. Walau sayangnya, kebanyakan sulit terlihat mata. Jangankan oleh penonton di panggung, dari kamera televisi saja tak terbaca.
Pemaparan BTP lebih baik daripada debat kedua, dan sudah lebih lugas daripada debat pertama. Sebagian kecil karakter bicaranya yang ceplas-ceplos sudah keluar, tentu saja tanpa kata yang dianggap kasar. Walau data yang keluar dari mulutnya justru lebih sedikit daripada debat pertama.
Ada yang menarik dari pemaparan BTP kali ini. Ia menggunakan “humanity touch” melalui narasi tentang adiknya yang sempat nakal. Sebagai anak, kalau nakal tentu harus dihukum. Dan justru hukuman itu yang mendidik dan pada akhirnya malah menjadikannya sukses di kemudian hari.
Sementara analoginya soal pemimpin sebagai orangtua bagi saya malah agak set–back dan sedikit kontradiktif dengan konsep sebagai “pelayan rakyat”. Walau begitu, pernyataannya yang menyindir paslon lain sebagai “om dan tante yang bertamu namun merecoki aturan di rumah bagi anak-anak” terasa mengena. Namun, ujaran paling epik adalah ucapannya kepada SM: “Bu Sylvi ke mana aja?” Yah, bisa dibilang, Ahok menang telak kali ini. Walau saya tak terlalu sepakat soal uraian peran kelompok PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) secara panjang-lebar.
- Djarot Saiful Hidajat (DSH)
DSH tampil dengan senyum yang ramah dan tidak sinis. Ia mampu bahu-membahu dengan pasangannya melontarkan pertanyaan dan jawaban secara baik. Tidak ada yang terpotong karena melewati batas waktu yang ditetapkan panitia.
Saya juga mengacungkan jempol kepada strategi timses untuk memberi peran lebih kepada DSH. Ia tidak lagi tampak sekedar sebagai pelengkap saja. Tentu yang paling kentara adalah kesempatan memberikan pernyataan penutup (closing statement) kepadanya. Sembari membawa print–out foto bekas lokalisasi Kalijodo, ia memaparkan keberhasilan pasangan itu mengubah wajah kawasan prostitusi tersebut. Kesempatan yang diberikan penyelenggara kepada paslon 2 untuk menyampaikan pernyataan penutup di giliran terakhir justru mampu memberikan “gong” yang telak. Bagai lonceng kematian bagi paslon lainnya.
PASLON 3
- Anies Rasyid Baswedan (ARB)
Penampilan ARB menurun dibandingkan debat kedua dan cuma sedikit lebih baik dibandingkan debat pertama. Serupa dengan AHY, ia kembali terpancing melakukan serangan verbal kepada paslon 2. Malah, saat ada kesempatan bertanya kepada paslon 1, strategi “nabok nyilih tangan” kembali dilakukan untuk menyerang paslon 2.
Bisa jadi berkaca pada banyak kesalahan data dalam debat kedua, paslon 3 lebih sedikit membawa kertas karton ke panggung. ARB kembali menunjukkan kemampuan retorikanya yang bak motivator handal. Paparannya kembali berputar dan tak tepat sasaran.
Ia juga tampak agak tegang dan kurang santai.Malah mimik wajahnya kali ini terkesan emosional. Padahal ini kesempatan terakhir menunjukkan ia mampu lebih baik daripada paslon 2 yang dicap tak santun.
- Sandiaga Salahuddin Uno (SSU)
Ibarat robot yang sudah diprogram, SSU kembali melontarkan “OK-Oce” sebagai “solusi segala masalah” di Jakarta. Ini sebenarnya tidak implementatif dan kurang taktis. Alih-alih konsisten pada program unggulan, justru seperti kekurangan ide.
Blunder paling besar justru pada pemaparan konsep “beli rumah tanpa DP” (Down Payment=Uang Muka). Terlihat sekali “beda kelas”-nya dengan rakyat kebanyakan. Ia anggap “menabung dengan stabil selama enam bulan” itu mudah saja. Dan pada akhirnya toh sama saja: tabungan itu diserahkan kepada pengembang sebagai DP.
Namun, ada sentuhan menarik saat SSU melepas sepatunya dan menunjukkannya kepada penonton. Adegan ini ada di salah satu film yang mengajarkan cara berkampanye politik. Maaf, judul filmnya saya rahasiakan karena tak banyak yang tahu.
Sayangnya secara keseluruhan penampilan SSU sedikit menurun, terlihat agak pucat dan kelelahan. Dan ia beberapa kali seperti hendak menyela atau mengoreksi ARB yang sedang bicara. Cukup buruk untuk dikenang sebagai penampilan di debat final.
Foto: kompas.com
Btw, ternyata pkk dan jumantik bbrp kali disebut dlm debat yaaa… Mungkin selain untuk menarik suara emak2 krn jumlahnya juga lumayan banyak dan sering berinteraksi dgn masy scr langsung. Diharap bisa jadi sales but paslon di lapangan. Hehehe…
Iya. Justru paslon 2 yang mulai menguraikan. Soalnya istrinya kan Ketua PKK de jure… Hehe…