Siang tadi, saya mendapatkan kesempatan langka: berada di dua tempat berbeda yang menyajikan agenda bertolak-belakang. Kebetulan, ada informasi dari rekan saya Inggita Notosusanto yang merupakan anggota Tim Perintis NuN (Netizen untuk Negeri) di WAG tentang adanya sebuah Diskusi Panel. Temanya sangat menarik dan sesuai dengan visi NuN: “SARA, Radikalisme dan Prospek Ekonomi Indonesia 2017”. Penyelenggaranya adalah DPP PKB dan bareksa.com.
Pembicaranya pun tidak main-main. Ada Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Korsahli Kepresidenan Sofjan Wanandi, ekonom Faisal Basri, Lily Sutikno chairman INACHAM (Indonesia Nasional Chamber of Commerce in China/Ketua KADIN kantor perwakilan RRC) dan tentu saja tuan rumah Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar. Sementara Menko Perekonomian Darmin Nasution dijadwalkan sebagai keynote speaker, walau berhalangan hadir dan digantikan staf ahlinya Bobby Harafinus. Maka, saya pun lantas mencari akses untuk mendapatkan undangan.
Tak dinyana, ketika tiba di lokasi yang berada di Gedung CIMB Niaga, rombongan pengantar Rizieq Shihab baru berangkat dari Masjid Agung Al-Azhar. Dan saya berkesempatan memotretnya hanya dengan kamera smartphone Infocus hadiah sebagai juara lomba penulisan di Kompasiana saat masih dipimpin COO Pepih Nugraha. Hadiahnya sendiri dulu diserahkan oleh mbak Dennissia Putri. Lumayan lah hasilnya.
Sesampai di dalam Financial Club tempat acara diselenggarakan, rupanya baru saja usai sambutan dari Ketum DPP PKB dan belum mulai acara intinya. Saat membuka acara, Moderator acara yang host CNN TV-Indonesia -maaf saya tak tahu namanya- berseloroh, “Apa yang kita bicarakan di dalam gedung, ternyata sudah terjadi dampaknya di luar”. Terasa ironis dan paradoks memang.
Materi diskusi panelnya sendiri cukup padat yang disajikan dalam waktu sekitar 2 jam. Intinya, para pembicara menyatakan bahwa radikalisasi massa menggunakan isyu SARA sangat menakutkan investor. Banyak sekali investasi yang tadinya sudah siap dikucurkan mendadak ditahan atau malah dibatalkan sama sekali. Terutama sekali yang berasal dari RRC.
Di samping itu, WNI keturunan Tionghoa yang kaya-raya sebagiannya sudah melarikan modalnya ke luar negeri. Tax amnesty tahap 2 hanya naik sedikit dari tahap 1. Malah sebagian besar masih berupa deklarasi, belum realisasi repatriasi. Ancaman terhadap perekonomian Indonesia nyata justru karena tindakan kelompok intoleran.
Agenda politik yang menunggangi isyu SARA membuat perekonomian negara melambat karena investor ketakutan. Jadi jangan salah -ini dari saya- bukan rush money atau boikot Sari Roti yang akan membuat perekonomian negara terancam. Melainkan tidak adanya arus dana moneter masuk dari dunia internasional.
Celakanya, kelompok intoleran jelas tak peduli. Mereka siap menghancurkan Indonesia demi mencapai ambisi politiknya. Semua panelis mengkuatirkan hal itu.
Dan saat saya pulang menggunakan Trans Jakarta, saya sempatkan turun di halte Polda Metro Jaya. Selain kembali mengambil foto yang saya tampilkan di sini, saya dengarkan orasi kelompok tersebut.
Benar saja, mereka seperti hidup di “dunia berbeda” yang terpisah dari realitas. Bak dihipnotis massal, mereka malah merasa sedang membela Indonesia juga. Padahal jelas aksi seperti itu, betapa pun diklaim tertib, dipandang berbeda oleh dunia internasional.
Bahkan solusi terbodoh yang mungkin mereka pikirkan jelas mustahil terjadi. Sebutlah seperti usir China dan Amerika dari Indonesia, ganti dengan investasi dari negara Islam, faktanya nol besar. Investasi Jepang, AS, RRC dan negara2 UE masih jauh lebih besar daripada negara2 Timteng atau Turki.
Sedih rasanya mengetahui Indonesia terancam hancur oleh aksi radikal kelompok intoleransi. Apalagi mereka begitu lihai memainkan agitasi hingga provokasi. Massa pengikutnya yang kebanyakan kelas pekerja informal itu pun mudah sekali terbuai. Memang membandingkan antara kelompok intoleransi dengan toleransi bak minyak dan air: mustahil dipersatukan.
————-
Catatan: Versi tulisan ini adalah untuk group FB “Netizen Untuk Negeri”. Saya berencana membuat sejumlah tulisan dengan judul sama untuk beberapa situs opini dan media daring lain.