“Andaikata saat ini negara kita diserang negara lain, berapa lama kita mampu bertahan?”
Pertanyaan itu berkecamuk di benak saya ketika menghadiri FGD (Focus Group Discussion) bertema pertahanan hari Jum’at (20/1) kemarin. Bertempat di suatu hotel di Jakarta Pusat, acara yang diadakan oleh NASPCI (National Air & Space Power Centre of Indonesia) bekerjasama dengan bergelora.com itu sedikit banyak memberikan gambaran.
Tema yang diusung besar: “Memperkuat Industri Pertahanan Dirgantara dan Pengadaan Alutsista TNI dalam Menghadapi Konstelasi Kawasan.”
Ketua Umum NASPCI Marsda TNI Ucok Usra Harahap yang sedianya menjadi keynote speaker berhalangan hadir karena harus menghadiri sertijab KSAU. Oleh karena itu ia diwakili Ketua Harian NASPCI Kolonel TNI (Pnb) Haryanto Afif.
Dari pemaparan beliau, diketahui bahwa meskipun ada penambahan alutsista baru terutama bagi TNI AU, kekuatan pertahanan kita masih jauh dari memadai. Ia memberikan contoh penerobosan wilayah negara kita oleh pesawat tempur asing. Ketika pesawat tempur kita mengudara untuk melakukan pencegatan (intercept), ternyata malah terkunci (locked). Artinya, alutsista kita jelas kalah kualitas dan tak siap andaikata menghadapi perang terbuka.
Hal itu juga dibenarkan oleh mantan KSAL Laksamana TNI (Purn.) Slamet Subijanto. Beliau mengambil contoh dari matra pertahanan laut yang pernah dipimpinnya. TNI AL hanya mendapat jatah bahan bakar untuk operasi kapal miliknya secara sangat terbatas. Apabila dikonversikan dan dibagi rata, setiap bulannya kapal-kapal milik TNI AL hanya bisa beroperasi selama dua hari! Karena itu tak heran bila pencurian ikan dan penyelundupan merajalela di wilayah maritim kita.
Dalam pemaparannya Dr. Connie Rahakundini Bakrie dengan bernas memaparkan mengenai problematika pertahanan kita. Penulis buku “Pertahanan Negara & Postur TNI Ideal” (2007) itu memaparkan mengenai satu contoh kasus yang populer baru-baru ini, yaitu rencana pengadaan helikopter baru. Disebutkan bahwa TNI AU berencana membeli helikopter AW-101 buatan Augusta-Westland dari Inggris sebagai helikopter VVIP dan SAR.
Rencana ini ditentang sejumlah pihak termasuk Kemenhan dengan dalih UU No.16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Disebutkan bahwa untuk pengadaan alutsista harus mengutamakan industri pertahanan dalam negeri. Oleh karena itu alih-alih membeli helikopter yang sesuai kebutuhan pengguna yaitu TNI AU, malah disarankan memesan ke PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Itu karena PTDI diklaim mampu membuat helikopter SA-330 Puma dan AS-332 Super Puma besutan Airbus-Helicopter dari Prancis. Padahal kapasitasnya belum sampai tahapan itu, baru sebatas merakit. Masih ada 7-8 tingkat lagi yang harus dilalui oleh PTDI untuk bisa disebut pabrik pembuatan helikopter. Dan itu selain tidak mudah juga masih relatif lama.
Penguatan TNI dan alutsistanya juga kerapkali terhambat berbagai faktor politis. Seperti juga disinyalir Mufti Makaarim, Executive Director PK2MP (Pusat Kajian Keamanan, Migrasi & Perbatasan), dalam memperkuat pertahanan negara kita masih banyak tantangan. Termasuk belum terbentuknya Dewan Pertahanan Nasional. Padahal, sangat penting untuk mensinergikan kinerja berbagai institusi dan lembaga pemerintah yang terkait pertahanan negara.
Walhasil, pertanyaan saya di awal tulisan ternyata menimbulkan jawaban menyedihkan. Bahwa pertahanan Indonesia ternyata mengkuatirkan karena sangat rentan terhadap serangan lawan.