Hari Kamis (12/1) siang, di ruang rapat Fraksi Partai Amanat Nasional dalam Kompleks DPR-RI, diadakan diskusi publik bertema “Mendorong Tata Kelola Konten Di Era Post-Truth Society”. Diskusi yang dihadiri Menteri Komunikasi & Informatika Rudiantara itu dibuka oleh Ketua Fraksi PAN Mulfachri Harahap.
Dalam keynote speech-nya Menkominfo menerangkan apa yang sudah dilakukan pemerintah dalam tata kelola konten, terutama bagi 3 bidang besar keuangan perbankan, transportasi dan energi. Dua hal yang sempat tertunda pada 2015, kini berhasil diwujudkan yaitu revisi UU ITE dan pembentukan Badan Siber Nasional. Melalui program penapisan, pemerintah juga telah berhasil memblokir 780 ribuan situs yang kebanyakan pornografi.
Ke depan, akan dilakukan juga penataan media online bekerjasama dengan Dewan Pers dan asosiasi jurnalis seperti PWI, AJI dan IJTI. Saat ini, dari ribuan media online yang ada, baru ratusan yang memenuhi persyaratan.
Terobosan baru yang akan diterapkan adalah sinergi antara data e-KTP yang memiliki NIK sebagai syarat bagi pembukaan situs atau akun baru. Juga akan diterapkannya sistem penilaian barcode otomatis bagi situs berita. Dengan demikian, diharapkan “situs abal-abal” akan berkurang dan kualitas informasi akan meningkat.
Usai Menkominfo, giliran A. Hanafi Rais -Wakil Ketua Komisi 1- angkat bicara. Ia mengatakan fenomena masyarakat pasca kebenaran (post-truth society) tidak hanya di Indonesia saja tapi juga di mancanegara. Fenomena Brexit di Inggris dan Pilpres di A.S. adalah contohnya. Menurutnya itu karena masyarakat kerap kecewa kepada berita media massa yang berpihak. Ia juga mengkiritisi pemerintah yang banyak menutup situs Islam, sementara yang pro-separatisme dibiarkan.
Setelah Hanafi, tampil Ismail Fahmi, Ph.D. sebagai ahli teknologi informatika. Ia memaparkan sedikit mengenai hasil temuan “drone emprit” ciptaannya. Ini adalah aplikasi untuk memantau sebaran dan jangkauan Twitter untuk isyu tertentu. Ia menunjukkan bahwa di Twitterland, pengguna aktif melek politik tersegregasi antara yang pro dan anti pemerintah. Dan ternyata setiap “kicauan” kubu pemerintah berupa penjelasan isyu aktual -seperti tenaga kerja asal RRC- sama sekali tak digubris.
Terakhir sebagai pembicara tampil Budi Youyastri, anggota Komisi 1. Ia menyoroti rencana penggunaan barcode yang diistilahkan “Safe Generated Rating Engine” untuk setiap situs dan isi (content) yang dimuatnya. Menurutnya hal itu sudah bagus asalkan jelas regulasinya. Ia juga mendorong supaya pemerintah lebih aktif melindungi warganya di internet.
Dari diskusi yang dipandu M. Hariman Bahtiar sebagai moderator itu, terlihat jelas kemauan pemerintah dan DPR yang kuat untuk menata konten internet. Hal ini antara lain diawali karena adanya kebutuhan untuk memerangi hoax. Diapresiasi pula inisiatif masyarakat seperti pembentukan Forum Anti Fitnah Hasut Hoax serta Netizen Untuk Negeri. Karena sebagai stake holder, justru aktivis internet atau netizen yang paling cepat merespon situasi aktual yang berkembang di dunia maya.