Jakarta, 4 November 2016
Bagi yang pernah membaca buku karya Agatha Christie, akan tahu bahwa Detektif Hercule Poirot sangat cermat dalam meneliti bukti dan pengakuan saksi. Satu hal sederhana yang kerapkali digunakannya dalam mengungkap kasus kriminal adalah “teori motif”.
Sederhananya, “siapa pelaku sebenarnya” adalah “siapa yang paling diuntungkan” dari suatu kejadian. Bisa jadi, keuntungan itu tidak langsung, tetapi bertahap.
Apa yang akan terjadi di Jakarta hari ini pun begitu pula halnya. Para penggerak demonstrasi bersikeras aksi ini murni, spontan. Tentu saja akal sehat kita akan menolaknya. Bagaimana mungkin mendatangkan banyak orang dari luar kota terjadi begitu saja?
Retorika, propaganda apalagi agitasi dan provokasi haruslah dicermati dengan hati-hati. Cobalah posisikan diri sebagai orang non-Indonesia dan kumpulkan fakta sebanyak mungkin. Semoga itu bisa membuat kita menjadi lebih jernih dan obyektif.
Masalah ini sudah melebar terlalu jauh. Bila yang dipermasalahkan adalah ucapan Ahok yang dipelintir Buni Yani, seharusnya sudah selesai. Bila maaf Ahok tak diterima, toh proses hukum sudah berjalan. Bila normal, bisa jadi akan makan waktu setahun lebih.
Tapi ini abnormal. Para pendemo maunya Ahok langsung jadi tersangka, dinyatakan bersalah dan dipenjara. Jelas dengan begitu ia akan otomatis didiskualifikasi dari kontestasi Pilkada 2017.
“Siapa yang paling diuntungkan?” Silahkan jawab sendiri.
Bila itu tak terjadi, bahkan bila Polri melalui Polda Metro Jaya menyatakan Ahok tak bersalah dan/atau berkasnya tidak P-21, tuduhan berikutnya sudah disiapkan: “Jokowi membela Ahok”. Maka, dengan dalih “menegakkan konstitusi”, ia akan dipaksa pula menanggalkan jabatan Presiden. Jauh sebelum masa jabatannya berakhir pada 2019.
“Siapa yang paling diuntungkan?” Silahkan jawab sendiri.
Di luar skenario pengambil-alihan kekuasaan tersebut, ada skenario sampingan yang diharapkan kelompok berbeda, tapi bersinergi dalam aksi kali ini. Ada skenario kelompok yang disponsori pihak luar dengan dalih HAM dan semacamnya, ada pula skenario sekelompok orang Indonesia berdalih agama yang berafiliasi dengan organisasi transnasional. Tujuan mereka lebih dari sekedar melengserkan Jokowi, tapi menghancurkan negeri ini. Itulah yang diwaspadai oleh TNI dan Polri.
Indikasi ini tentu tidak sembarangan dilontarkan. Silahkan disimak, dalam beberapa kesempatan Kapolri menyatakan hal ini. Dan dengan BIN yang dipimpin oleh jenderal bintang empat dari Polri, tentunya informasi ini tidak bisa dianggap remeh.
Kekuatiran meletusnya semacam “Arab Spring” bahkan sudah diketahui para pemuka agama. Dalam acara “Mata Najwa” di Metro TV pada hari Rabu (2/11), Ketua Umum PBNU Prof. Dr. K.H. Said Agil Siradj mengingatkan, bahwa kekacauan berdarah luar biasa besar di jazirah Arabia itu dimulai dengan hal kecil: “Bakar dirinya seorang tukang sayur yang berdemonstrasi di depan gedung parlemen Tunisia”. Kejadian itulah yang lantas dipolitisasi dan dijadikan bola salju kerusuhan.
Karena itu, tak heran ada yang menggunakan isyu “jihad siap mati” di beberapa kelompok demonstran. Mereka berharap aparat keamanan terprovokasi sehingga jatuh martir dari pihak demonstran. Dengan begitu akan lebih mudah bagi mereka mendesakkan agendanya.
Dilandasi semua hal itulah, demi menjaga negeri ini, Presiden Jokowi melakukan silaturahmi ke kediaman Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto. Demikian pula ketika beliau mengundang para ulama ke Istana Negara keesokan harinya.
Saya pribadi memilih “menghibur diri” dengan guyonan Kapolri di acara “Mata Najwa” yang sama. Beliau mengatakan apa yang terjadi hari ini semata adalah “panggung” bagi orang-orang yang tak mendapat panggung karena tak diundang di “Mata Najwa”. Bagaimana pun semua adalah Warga Negara Indonesia. Dan demonstrasi memang hak dalam demokrasi.
Semoga saja benar begitu. Sehingga sirnalah semua kekuatiran akibat begitu riuhnya segala retorika, propaganda, agitasi dan provokasi di berbagai media, terutama media sosial. Semoga demonstrasi hari ini berlangsung damai dan aman, sehingga para peserta bisa kembali kepada keluarganya dan melanjutkan perjuangan hidup sehari-hari di Indonesia kita bersama.
Kita harus sadar, harga kedamaian dan ke-Indonesia-an terlalu mahal untuk dipertaruhkan. Bahkan untuk jabatan presiden sekali pun.
Tuhan, lindungilah Indonesia. Aamiin.
[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FB utama penulis.]