Siang tadi, di sudut jalan perempatan jalan Wijaya 1-jalan Prapanca, ada kejadian heboh. Sebuah videotron billboard menayangkan J.A.V. Sontak terjadilah “nobar dadakan” di jalanan. Foto yang saya dapat susah-payah ini menunjukkannya. Sebenarnya format foto ini vertikal, namun saya ‘cropping’ karena menunjukkan jelas adegan pornografi.
Kontan berbagai komentar bermunculan. Dan pastinya, paling banyak hujatan. Ada sih yang bercanda, tapi ujungnya sama: “Rasain lu, makanya jadi orang yang bener. Kayak gue dong, gak suka porno.”
Prettt!!!!
Saya langsung merasa bahwa saya saja sepertinya yang kotor. Ya jelas. Saya malah menyesal tak sempat menyaksikan “siaran eksklusif” itu. Padahal, saya sering lewat jalan itu. Apalagi tepat di depannya ada masjid Syarif Hidayatullah yang oleh “mursyid” saya disebut “masjid anak kecil”, karena ada pesantren anak-anaknya dan seringkali imam shalat fardhu berjama’ah-nya masih remaja. Saya sih kalau ke situ paling makan somay, nggak pernah shalat. Masa’ iya iblis shalat sih? 😉
Ingatan saya lantas melayang pada LHI. Pada saat ditangkap KPK, ia menjabat Ketua Umum “Partai hanya Kamilah yang Suci” itu. Dan kemudian terungkap sang ahli agama berusia hampir 60 tahun itu menikahi istri muda yang belum lagi lulus SMA.
Tentu saja poligami lebih baik daripada berzina bukan? Lagi-lagi saya merasa munafik. Amal-ibadah saya jelas tak ada apa-apanya dibanding beliau, kok bisa-bisanya saya waktu itu menghujat beliau yang menikahi akhwat berjilbab syar’i?
Padahal saya ini ya senang sekali memelototi foto akhwat berjilboob.
“Dasar munafik!” maki saya kepada cermin. Tuh, masih juga cermin yang disalahkan.
Dan saya tambah merasa munafik saat di Youtube menyaksikan video clip-nya Awkarin & Young Lex. V.C. yang sudah ditonton lebih dari 5 juta pemirsa itu bercerita “dari hati” soal tudingan masyarakat kepada “kaumnya”. V.C. berjudul “Bad” itu bahkan ada parody-nya berjudul “Good”. Wah, saya tambah tertawa melihatnya. Mentertawakan kemunafikan saya maksudnya. Karena dia menyebut dua training motivasi terkenal di sana, dimana saya pernah bekerja sebagai manajemen atas di salah satunya. Saya merasa, selama ini justru sayalah yang sok “good” dibandingkan Awkarin yang jelas mengaku “I am a bad girl”. Saya sok suci menghujatnya dalam hati, padahal sebenarnya iri mengetahui pendapatannya yang per bulannya bisa mencapai puluhan bahkan lebih dari seratusan jeti.
Saya tambah tak berani mengomentari P.P.A.P. song. Si culun itu pastinya sudah meraup dollar banyak juga. Sementara saya yang merasa keren ini kok ya nyatanya kere.
Soal Dimas Kanjeng? Apalagi. Kalau saja dukun yang pernah saya datangi mengumbar data saya, habislah harkat saya. Eh, lupa. Saya kan tak punya harkat ya? Wong iblis jeee… Makanya saya pun tak berani mencela siapa pun yang katanya sempat jadi tamu beliau. Takut. Lha wong saya ya sama saja kok. Sudah begitu saya jelas belum profesor doktor. Ya mustinya lebih hina toh daripada beliau?
Makanya, malam ini saya menunduk malu. Mewek di pojokan.
Di tengah masyarakat yang manusianya suci semua ini, rasanya cuma saya kok yang munafik. Suwer!!!
[Tulisan ini semula diunggah sebagai status di account FB utama penulis pada hari yang sama.]