Saya menunggu cukup lama untuk mengamati persoalan sang motivator Mario Teguh (MT) ini. Bagaimana duduk perkaranya dan reaksi orang-orang yang saya ketahui tentang beliau. Dan, kini sudah cukup jelas bahwa sepertinya masalah beliau bisa dilokalisir menjadi masalah pribadi. Kompas TV tidak menghentikan tayangannya, walau kita belum tahu apakah popularitasnya akan turun setelah berita soal pernikahannya terdahulu.
Satu yang saya tahu pasti, beliau bukan motivator termahal di Indonesia seperti pernah ditulis Pak Muhammad Zazuli (catatan tambahan: dalam statusnya di FB yang saya tag juga beliau). Paling hanya nomor tiga atau empat saja. Tapi bisa jadi memang yang paling populer karena program TV-nya sukses diikuti massif-nya followers medsos-nya. Perlu diketahui segmen terbesar pendapatan motivator bukan dari acara publik, tapi dari aktivitas korporasi maupun institusi.
Perlu dibatasi juga pengertian motivator sebenarnya adalah trainer dengan materi motivasi. Hampir semua trainer masa kini mampu membawakan materi ini. Namun, tidak semua sebenarnya bisa disebut motivator. Trainer teknis dan soft skill sebenarnya bukan motivator. Demikian juga pakar di bidang tertentu atau profesi aslinya lain. Hermawan Kertajaya pakar pemasaran dan Prof. Dr. Rhenald Kasali pakar manajemen menurut hemat saya bukanlah motivator. Demikian pula alm. Bob Sadino yang pengusaha, juga sekedar memberikan training motivasi. Karena mereka tidak menggantungkan pendapatan mereka dari sana.
Nah, setelah membatasi pengertian motivator, mari kita masuk ke kasus MT. Saya amati, hampir semua komentator mencela dan menghujatnya dengan bersemangat. Ibaratnya, mereka seakan koor berkata, “Rasain lu!”
Kenapa begitu? Karena mereka tak suka dengan materi isi pelatihan MT. Apalagi kalau tahu bayaran MT memberi training mencapai Rp 100 juta-an per jam, bersih di luar akomodasi dan transportasi. Tambah sirik pastinya. “Apaan, gitu doang gue juga bisa!” Serangan berubah ke personalnya, ad hominem.
Mereka lupa, sama seperti figur publik lain, ada “jalan panjang” yang sudah ditempuh MT sebelumnya. Setidaknya, dalam karir dia membuktikan sudah pernah menjadi pucuk pimpinan bank swasta nasional. Dan itu tidak mudah, apalagi lantas banting setir menjadi motivator.
Saya sudah melihat beberapa orang kenalan berupaya menjadi motivator, dan gagal-total. Penyebab utamanya adalah mereka tidak “walk the talk”. Cuma cerita kesuksesan orang lain seperti Bill Gates atau Bill Clinton, tetapi dalam diri mereka sendiri tidak ada rekam jejak kesuksesan serupa.
Berbeda dengan Aa’ Gym (AaG) yang pangsa pasar utamanya adalah muslimah wa bil khusus jama’ah ibu-ibu pengajian, pengguna jasa MT adalah korporasi dan institusi. Satu segmen mengedepankan emosi dan perasaan, lainnya rasio dan logika. Belum lagi kasusnya beda, AaG poligami, MT cerai.
Ada stigma negatif memang di masyarakat kita soal ini. Terutama dari penganut “nilai tradisional” tentang pernikahan “sekali dan selamanya”. Ada idealisasi utopis tentang konsep pernikahan yang diidentikkan dengan kebahagiaan sejati. Padahal, realitasnya berbeda. Dan paradigma tiap manusia pun tak sama.
(Bersambung besok)
Catatan: Tulisan ini pertama kali dimuat sebagai status di FB profile utama penulis pada hari Selasa (20/9).