Di akhir tahun, merupakan saat yang tepat utnuk melakukan introspeksi terhadap hidup. Seringkali kita yang sudah berada di zona aman-nyaman lupa melakukannya. Atau, sebaliknya, justru karena sedang sangat sibuk untuk sekedar bertahan hidup atau survive, maka tak punya waktu untuk merenung. Mungkin malah ada di antara kita yang tergolong orang yang mengaku dirinya “mengalir bak air”. Padahal, mengalir tanpa tahu arah tujuan sama saja “hanyut ikut arus”. Andaikata di depan ada bendungan atau jurang, tak sempat menghindar.
Ketiga hal yang ditulis di atas bisa jadi dianggap sama, karena itu kerap rancu. Padahal, sebenarnya berbeda. Dan peringkat ketiganya makin ke belakang makin tinggi. Makna hidup, hanya bisa dicapai oleh mereka yang telah menggapai puncak piramida teratas dari piramida kebutuhan Abraham Maslow: aktualisasi diri.
Saya sendiri kerap tidak mempedulikannya. Dalam hidup, target serta tujuan bisa berubah, tetapi makna hidup seharusnya tetap sama. Karena kita manusia, maka kemanusiaan merupakan sebuah tanggung-jawab sosial. Bila kita hidup hanya untuk memperkaya diri sendiri, keluarga dan kerabat sendiri, maka jelas belum menemukan makna hidup. Maka, kita bisa melihat para konglomerat atau pejabat yang sebenarnya sudah hidup mapan masih saja korupsi. Kita menyaksikan maraknya peredaran dan penyalahgunaan obat-obatan dan zat adiktif terlarang karena kosongnya makna kehidupan.
Target hidup (life target) adalah berupa pencapaian material atau non-material yang bisa dideskripsikan dengan jelas. Bisa dibagi menjadi jangka pendek (kurang dari 1 tahun), menengah (2-5 tahun) dan jangka panjang (lebih dari 5 tahun). Contoh konkretnya adalah memiliki gawai baru dalam 8 bulan, memiliki kendaraan baru dalam 2 tahun dan memiliki rumah baru dalam 6 tahun. Kalau contoh non-material misalnya berhenti merokok dalam 6 bulan, berkurang berat badan 15 kg dalam 1,5 tahun, memiliki 20 anak asuh dalam 5,5 tahun.
Tujuan hidup (life purpose) lebih berupa psikis, spiritual atau filosofis. Misalnya membangun keluarga bahagia bersama pasangan, atau membahagiakan orangtua. Termasuk pula dalam hal ini tujuan hidup yang bersifat agamis seperti pergi ke tanah suci. Sifatnya jangka panjang karena pencapaiannya bertahap. Seringkali ukurannya abstrak, seperti parameter kebahagiaan yang berbeda antara satu orang dengan orang lain. Dalam redaksi yang bisa berbeda antara tiap orang, di film The Secret Life of Walter Mitty (2013) pernah dituliskan mengenai hal ini. (Baca kembali tulisan saya “Tujuan Hidup“).
Nah, makna hidup (meaning of life) lebih bersifat spiritual atau filosofis. Tidak selalu berasal dari agama, karena justru di dunia banyak orang yang memilih tidak beragama, tetapi spiritualis. Konsep ini memang agak sulit diterima di Indonesia yang cenderung doktriner dalam beragama. Di luar negeri, menjadi atheis atau komunis bukan lantas jadi seperti penjahat. Karena justru banyak di antara mereka menjadi orang hebat yang mampu memaknai hidup.
Dalam foto ilustrasi di atas, secara bebas saya terjemahkan menjadi “makna hidup adalah mendedikasikan diri untuk mencintai orang lain, membaktikan diri kepada lingkungan sekitar, dan berupaya membuat sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.” Tentu saja makna hidup ini terkesan abstrak, karena itu kemudian kitalah yang harus menerjemahkannya agar membumi. Tetapi, asal jangan sampai kita jadi seperti kartun berikut ya…. yang menganggap komputer atau internet bisa menyelesaikan segalanya. Hahaha…..
Ilustrasi:
- Foto atas: pravsworld.com
- Kartun bawah: bobchoat.com