Setelah berita jatuhnya pesawat TNI AU hari Minggu (20/12) lalu, kemarin terbetik kabar seorang pilot maskapai penerbangan nasional tertangkap tengah “nyabu”. Bersamanya, ada seorang pramugari, seorang pramugara dan seorang ibu muda yang juga ditangkap oleh BNN (Badan Narkotika Nasional) Banten di apartemen kawasan Tangerang Selatan. Berita itu tentu memprihatinkan karena Indonesia saat ini tengah “darurat narkoba”. Sudah jadi rahasia umum bahwasanya negara kita jadi target pasar dari mafia narkoba internasional karena banyaknya penduduk.
Namun yang lebih memprihatinkan adalah tindakan itu dilakukan oleh pilot dan awak pesawat. Padahal, dalam tugasnya mereka bertanggung-jawab atas nyawa puluhan hingga ratusan penumpangnya. Bayangkan saja apabila mereka masih dalam pengaruh narkoba kemudian bertugas. Betapa besar resikonya!
Saya lantas teringat pada film Flight (resensi bisa dibaca di sini), yang berkisah tentang seorang pilot yang mabuk saat bertugas. Ajaibnya, meskipun pesawat sempat mengalami masalah di udara, sang pilot berhasil mendaratkannya dengan selamat. Ia malah sempat jadi pahlawan karena hanya sedikit korban dari seratusan lebih penumpang dan awak. Tetapi, ia lantas terdera rasa bersalah karena kondisinya yang mabuk saat mempiloti pesawat jelas tidak layak. Meski beresiko dipenjara dan dicabut izin pilotnya, ia akhirnya mengakuinya di sidang komisi etik penerbangan.
Nah, di film itu, kita melihat “jiwa ksatria” sang pilot walau semula ia sempat mencoba menghindari tanggung-jawab. Tetapi, nuraninya bicara bahwa kebenaran bagi para korban jauh lebih penting. Apalagi, ditemukannya tiga botol minuman keras ditimpakan kepemilikannya kepada pramugari yang tewas. Padahal, justru sang pilot-lah yang meminum isinya.
Dari situ, sebenarnya kita bisa belajar bahwa mengakui kesalahan bukan satu hal yang nista dan hina. Sebaliknya, malah mulia. Sang pilot di film itu yang meski harus menanggung resiko besar, akhirnya mau mengakui kesalahan. Sayangnya, dalam hidup, banyak sekali manusia pengecut yang tak mau mengakui kesalahan. Padahal, tak ada resiko yang ditanggungnya selain harus mengucapkan “maaf”. Kalau begitu saja tidak “gentle”, bagaimana pula dengan hal-hal lain dalam hidup?
Featured image: fajaronline.com