Pesawat TNI AU Jatuh Lagi

Pesawat latih-serang ringan T-50i Golden Eagle TNI AU (Foto: Merdeka.com)

Pesawat latih-serang ringan T-50i Golden Eagle TNI AU (Foto: Merdeka.com)

Untuk kesekian kalinya pesawat TNI AU jatuh saat sedang bertugas. Kali ini pesawat yang jatuh adalah pesawat latih-serang ringan T50i Golden Eagle buatan Korea Selatan. Pesawat itu jatuh saat melakukan atraksi akrobatik udara dalam acara Gebyar Dirgantara AAU. Pesawat tersebut jatuh di perkampungan, dekat Pangkalan Udara Adisutjipto, Yogyakarta, sekitar pukul 09.40, pada hari Minggu (20/12). Kedua pilotnya yaitu Letnan Kolonel Pnb Marda Sarjono dan Kapten Pnb Dwi Cahyadi tewas di tempat.

Sebagai seorang penggemar dunia kemiliteran termasuk kedirgantaraan (saya punya brevet penerjun para), saya sangat prihatin dengan musibah tersebut. Meski penyelidikan lebih lanjut masih menunggu KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi), saya melihat dan mencermati video jatuhnya pesawat itu. Sayangnya, gambar yang dibuat oleh warga dengan kamera handphone tersebut kurang jelas. Dari rekaman itu masih bisa terlihat kalau pesawat jatuh setelah melakukan gerakan “Hammerhead” yang seharusnya dilanjutkan “Stall Turn”. Gerakan ini adalah pesawat menanjak vertikal ke langit lalu dilanjutkan dengan jatuh ke tanah seolah mesin mati, namun beberapa meter sebelum menyentuh tanah pesawat akan membuat gerakan menghindar nyaris 90 derajat.

Kedua pilot tidak sempat “eject”, padahal saat pesawat terlihat “stall”, ada jeda yang cukup untuk menarik tuas. Dugaan saya sederhana: kedua pilot pingsan. Penyebabnya? Tidak kuat menahan daya tekan gravitasi atau lazim disebut G-Force. Ini merupakan penerapan fisika dari ketiga hukum gerak Newton yang terkenal, terutama hukum kedua dan ketiga. Sederhananya, seseorang yang melakukan gerakan sebenarnya selalu “melawan gravitasi”, dan terbang dengan pesawat jelas sekali merupakan salah satu bentuk paling nyata. Manusia biasa mampu menahan hingga 5 g0 (49 m/s2), sementara seorang pilot rata-rata mampu menahan hingga 9 g0 (88 m/s2). Makin besar angkanya, makin besar tekanannya. Karena tubuh manusia terdiri dari zat dan partikel, gravitasi bisa membuyarkan elemen-elemennya dengan mudah. Bayangkan saja balon yang meletus.

Ketika pesawat naik menanjak menjauhi Bumi atau sebaliknya turun mendekati Bumi, G-Force ini akan meningkat. Dan bila manusia tak mampu menangani tekanannya, akan terjadi kondisi “LOC” stands for “Loss Of Consciousness” alias pingsan. Melihat rekaman jatuhnya pesawat T-50i Golden Eagle dimana pesawat menukik nyaris tegak-lurus ke tanah, kemungkinan kedua pilot mengalami ini. Karena bila mesin pesawat masih bisa menyala dan kedua pilot berusaha menarik tuas untuk mengubah laju pesawat, di rekaman akan terlihat pesawat berputar-putar 180 derajat beberapa kali sebelum jatuh.

Kalau pun ini benar, melihat jam terbang kedua pilot, ini belum tentu kesalahan keduanya. Bisa jadi ini akibat pesawat yang dipaksa melebihi kemampuannya. Pesawat Su-27  dan Su-30 serta generasi ke-5 yang masih dalam perencanaan sudah pasti lebih mampu menangani G-Force daripada T-50i. Apalagi Sukhoi punya gerakan manuver pesawat khas dengan G-Force tinggi, yang tak bisa ditandingi pesawat buatan Barat, itulah “Kobra Pugachev”. Maka, sudah waktunya TNI AU selain makin meningkatkan alutsista dan kemampuan personelnya, juga memperhatikan aspek pemeliharaan lebih seksama. Kualitas pesawat buatan Korsel dengan Rusia jelas beda bukan?

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s