Bila dulu zamannya mailing-list alias milis di yahoogroups sedang nge-trend, saya lumayan menjadi “banci milis”. Artinya, saya ikut banyak milis hingga sekitar 50-an jumlahnya. Bahkan sempat pula menghasilkan buku antologi atau bunga rampai bersama penulis anggota suatu milis. Ketika media sosial yang lebih interaktif marak, milis ditinggalkan kecuali yang memang sudah solid keanggotaannya.

Beberapa tahun belakangan, “komunitas”-lah yang mulai nge-hive. Baik yang memiliki basis di dunia maya maupun tidak. Inti dari kegiatan komunitas mirip dengan arisan atau paguyuban. Ibarat mengejawantahkan filosofi dari buku Umar Kayam: “mangan ora mangan kumpul”.

Komunitas bisa berasal dari kesamaan latar belakang, minat, ras atau hal-hal kohesif lain. Tujuannya sederhana: beraktivitas bersama. Maka, fi sebuah komunitas bisa terdapat aneka profesi dan status sosial.

Saya pribadi kerap masuk suatu komunitas secara mandiri karena ingin mencoba. Parameter saya untuk bertahan adalah kecocokan dengan kepribadian dan karakter saya. Di usia saya yang sudah tua ini, saya juga butuh pengakuan dan penghargaan. Apalagi, saya memang sudah sepantasnya mendapatkan itu sesuai “posisi dalam hidup” saya saat ini.

Dari situ, saya lantas menggunakan keahlian saya di bidang SDM untuk meraba “chemistry” dengan anggota komunitas. Tentu saja terutama dengan pimpinannya. Kalau ini terasa “sreg”, barulah saya gunakan kompetensi komunikasi saya untuk mendekatkan diri. Di tahap terakhir, saya gunakan kapasitas pemasaran dan pencitraan untuk mensinergikan potensi yang ada. Dari situ, niscaya bisa tercipta simbiosis mutualisme yang erat.

Catatan: Mulai hari ini saya bukan lagi anggota KOPI. Sehingga segala sesuatu terkaitnya & orang2 di dalamnya bukan lagi urusan saya.

Foto: Arul Muchsen