Kita sering mendengar ungkapan “tak ada teman yang abadi”, dan lanjutannya adalah: “yang abadi hanyalah kepentingan”. Ungkapan ini kerap digunakan di dunia politik. Kita bisa melihat sendiri, di pentas politik nasional banyak “kutu loncat”. Seorang kader partai politik tertentu yang kemudian pindah ke tempat lain. Tetapi yang lebih parah adalah saat seorang pejabat publik terkena kasus hukum terutama korupsi, hampir semua temannya “balik badan” dan “buang muka”. Pepatah “ada gula ada semut” dan ungkapan “ada uang abang disayang, tak ada uang abang ditendang” terbukti benar adanya.
Sebenarnya, itu wajar saja terjadi. Karena memang hidup manusia sebenarnya terdiri dari banyak “episode hidup”. Coba saja pikirkan, dari teman-teman SD, SMP, SMA, dan kuliah Anda, berapa orang yang masih berinteraksi hingga kini? Interaksi itu artinya bertemu muka dan bercengkerama di dunia nyata, bukan sekedar jadi “friend” di media sosial belaka lho. Anda minimal tahu dan pernah berkunjung ke rumahnya, Anda tahu dan kenal keluarganya, dan bertemu minimal sebulan sekali. Paling-paling, yang terus berinteraksi adalah teman mencari nafkah saja bukan? Keluarga inti dan tetangga saja mungkin jumlah kuantitas waktu bertemunya masih kalah dengan “teman kerja”.
Di sisi lain, mungkin saja ada di antara Anda yang beruntung, punya teman dalam jangka waktu lama. Dan biasanya, ini kategorinya sahabat. Mereka memang setia di samping Anda, apa pun yang terjadi pada diri Anda. Bahkan, andaikata Anda dihukum karena kasus kriminal sekali pun. Dan sekali lagi ini jelas hanya bagi Anda yang beruntung. Bila itu terjadi, maka gambar ilustrasi di atas boleh Anda klaim: “gue banget nih!”
Tetapi, sepanjang pengalaman saya bertemu banyak orang, jarang sekali yang seperti itu. Kebanyakan hanya berteman karena adanya kepentingan tadi. Misalnya saya saat ini sedang ada proyek, maka mereka yang intens bertemu adalah yang terlibat di sana. “Kepentingan bersama” itulah yang jadi pengikat kita dengan orang lain.
Seorang sahabat akan “mati-matian” membela sahabatnya bila terkena masalah. Di Indonesia, masalah paling sensitif adalah uang dan hukum. Bila ada orang mengaku sahabat Anda tetapi “lari” saat Anda meminjam uang dan terkena masalah hukum, maka dia jelas sahabat palsu. Saya sih sudah “kebal” dengan orang-orang semacam itu. Radar peringatan dini saya sudah akan menyala sejak awal. Karena itu, saya makin mengurangi “baper” alias “bawa perasaan” dalam sebuah hubungan. Artinya, saya akan memisahkan hal-ihwal pribadi sejauh mungkin dari pertemanan. Sehingga, kalau ada yang mencoba masuk, saya pasti waspada karena dia jelas menabrak privasi saya. Hati-hatilah berteman!
Foto ilustrasi: weheartit.com