Untuk pertama kalinya saya hadir dalam diskusi di bidang perfilman. Meski sejak 2007 sudah menulis resensi film yang masuk dalam kajian perfilman sub-bidang kritik film, dan juga punya situs sendiri yaitu http://resensi-film.com, saya sejatinya “bukan orang film”. Dan keikutsertaan saya di acara ini adalah info dari seorang teman yang saya kenal di komunitas penonton film. Acaranya sendiri diadakan oleh Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan R.I. Untuk kesempatan yang jarang setelah bertahun-tahun, saya cuma jadi peserta, bukan pembicara.
Alhamdulillahirabbil’alamiin. ALLAH SWT berkenan “membukakan pintu” baru ini untuk saya. Meski teman dekat wanita saya saat ini sebenarnya merupakan orang yang sangat dekat dengan dunia perfilman, tetapi saya tahu diri. Saya bukan dia. Malah, selama ini kami belum pernah tampil bersama di acara publik seperti festival untuk menghindari gosip. OK. Stop soal saya dan dia. Mari kita bahas selintas apa yang didiskusikan dalam acara yang sebenarnya berlangsung 19-20 November 2015 lalu, tetapi baru sempat saya tuliskan sekarang.
Di acara itu, saya merasa bak anak TK berhadapan dengan para guru besar. Sebagai seorang kritikus film dan penulis berpengalaman termasuk di dunia jurnalistik, saya merasa “nggak dianggep” oleh mereka. Apalagi saya malah disuruh “sekolah lagi” supaya bisa menulis kritik film “dengan baik dan benar”. Tetapi sebagai seorang yang selalu berpikir positif, saya justru menganggapnya tantangan. Insya ALLAH, setelah saya menyelesaikan doktoral saya, saya berniat mengambil kursus singkat soal penulisan kritik film di luar negeri.
Terus-terang, saya merasa mendapatkan banyak sekali ilmu baru dalam acara tersebut. Tetapi, sayangnya dalam diskusi dengan para peserta yang kebanyakan “senior” di bidang perfilman, saya menangkap nada pesimis. Tema “Dialog Perfilman: Mencari Visi Baru Perfilman Indonesia” saja dijadikan lelucon oleh mereka, “Tahun depan, kita mencari lagi visi lebih baru perfilman Indonesia.” Lho, kok begitu?
Rupanya, paradigma dan cara kerja sebagian aparatur pemerintahan masih sama saja. Mereka cuma menganggap dunia perfilman sebagai pekerjaan dan tugas sampingan semata. Sekedar memenuhi tupoksi (tugas pokok dan fungsi) sebagai pegawai negeri belaka. Tidak ada niat tulus dan sungguh-sungguh untuk benar-benar membantu dunia perfilman Indonesia. Hal itu misalnya tercermin saat Dr. Ade Armando memaparkan penelitiannya yang menunjukkan makin turunnya minat penonton pergi ke bioskop dan menyaksikan film-film Indonesia. Ada usulan agar pemerintah membantu, misalnya dengan memberikan insentif pajak, atau mendukung program konkret untuk menarik penonton ke bioskop. India dengan Bollywood-nya dijadikan contoh dimana perfilman ternyata bisa dijadikan komoditi ekspor yang menghasilkan devisa. Contoh lebih konkret lagi adalah Korea Selatan dimana pemerintahnya dengan kebijakan politis mendukung K-Pop termasuk dalam men-dunia-kan film-film Korea. Hasilnya? Kita bisa lihat demam K-Pop di mana-mana termasuk di Indonesia.
Yah, sebagai orang baru, saya juga baru tahu bahwa profesi “kritikus film” itu “orang film” juga. Maka, saya dengan tidak bermaksud menyombongkan diri jelas sangat layak menyebut diri “kritikus film”. Setidaknya, saya jauh lebih layak daripada seorang kenalan saya yang dengan santainya menyebut diri “kritikus film” dan seenaknya memberikan penilaian kepada film saat diwawancara. Padahal, dia sama sekali tidak pernah menulis satu pun kritik film. Halah!