Saya telah begitu sombong selama ini. Merasa diri saya telah cukup beriman. Padahal, cuih! (saya meludahi muka saya sendiri).
Saya berkali-kali diingatkan, tetapi saya abaikan. Saya adalah hamba-Nya yang paling tidak bersyukur. Maka, satu demi satu musibah menghampiri saya. Bahkan lebih parah daripada itu, nikmat yang masih diamanatkan-Nya kepada saya satu demi satu pun dicabut-Nya.
Dan merengek serta menangislah saya seperti bayi. Tentu saja di hadapan Pemilik saya: Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ternyata, benar belaka ungkapan yang kutip dari film fenomenal “Life of Pi” (2012) di atas. (Catatan: resensi bisa dibaca di http://resensi-film.com dengan mengklik ini). Ucapan dari karakter utama Pischine “Pi” Molitor Patel itu adalah:
After all, you cannot know the strength of your faith until it has been tested.
Setelah semuanya, kamu tidak dapat tahu kekuatan dari imanmu sampai ia diuji.
Dan ujian hidup tidak seperti ujian sekolah tentu saja. Ia datang mendadak, sewaktu-waktu dan tanpa pemberitahuan. Tidak hanya waktunya, tapi juga bentuk dan besarnya tak bisa diduga.
Saya pun langsung teringat pada satu ayat Al-Qur’an mulia surat Al-Ankabut (29) ayat 2 berikut:
“Apakah manusia itu mengira, bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
“Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji?”
Kali ini, saya merasa, ujian Tuhan terlalu berat secara mental bagi saya. Memang, fisik saya baik-baik saja. Saya masih sehat. Tetapi saya sudah ‘runtuh di dalam’. Hancur-lebur.
Ujian berupa musibah atau bisa jadi azab berturut-turut sejak 2012 berkali-kali membuat saya sulit tegak berdiri lagi. Saya tidak tahi apa lagi yang musti saya perbuat untuk masa depan. Memang, di pikiran masih banyak terlintas ide, tetapi kerja nyata saya selama lebih dari 15 tahun -malah hampir 20 tahun- sudah hilang lenyap.
Rasanya bak terkena tsunami. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Rasanya sulit terbayangkan bukan?
Kali ini, kemungkinan besar saya akan menyerah. Karena tidak ada lagi “harapan” yang bisa diandalkan. Tapi saya masih mengharapkan adanya “keajaiban” berupa pertolongan Tuhan. Entah dengan cara bagaimana.
Padahal, bila dibandingkan umat-umat terdahulu, atau mungkin masalah orang lain, bisa jadi masalah saya kecil saja. Tetapi, karena saya sendirian menghadapi ini tanpa siapa pun di samping saya, maka jelas terasa berkali-kali lipat beratnya. Andaikata orang lain di posisi saya, belum tentu sekuat ini. Itulah makanya di zaman kolonial Belanda, para pejuang yang memberontak diasingkan. Karena pengasingan atau dijauhkan dari “jaring pengaman sosial” yaitu mereka yang dikenal, secara mental akan menghancurkan. Bahkan efeknya lebih mengerikan daripada dipenjara, namun masih boleh dijenguk.
Karena itu, saya berharap Tuhan tidak memberikan ujian lebih berat lagi. Karena saya tidak mampu lagi menghadapinya. Dan kalau saya menyerah, belum tentu ada “ujian ulang” bukan?
Ping-balik: Seperti Aku Akan Kehilanganmu | LifeSchool by Bhayu M.H.·