Dalam film Captain America: The First Avenger (2011), karakter Dr. Abraham Erskine mengucapkan jawaban atas pertanyaan Steve Rogers. “Kenapa saya yang dipilih?”:
“Inilah sebabnya kamu dipilih. Karena seorang kuat, yang telah mengenal kekuatan sepanjang hidupnya, dapat kehilangan rasa hormat pada kekuatan itu. Tetapi seorang lemah tahu nilai dari sebuah kekuatan, dan tahu belas-kasihan.”
Jawaban itu terdengar unik, mungkin malah aneh. Tetapi jelas terasa sekali nilai luhurnya.
Bila Anda pernah menyaksikan film tersebut, akan tahu bahwa Steve adalah seorang yang selalu tidak lulus setiap kali mengikuti ujian menjadi tentara sukarelawan. Padahal, niatnya membela negara besar sekali. Itu semata karena fisiknya tidak memadai. Kurus, kecil dan pendek. Tetapi, hatinya begitu mulia. Itulah yang dilihat oleh Erskine ketika merekrutnya masuk ke Strategic Scientific Reserve. Dan ketika Rogers terpilih menjadi “super soldier”, kalimat di atas itulah yang diucapkan olehnya. Ia mengalahkan rekan-rekannya yang secara fisik lebih kuat.
Di kehidupan kita sehari-hari, kita seringkali mempersepsikan mengenai “orang kuat” dalam dua hal: secara fisik atau secara status sosial. Secara fisik, tentu saja mereka yang melakukan olah raga terutama “body building” akan terlihat kuat. Dan secara status sosial, pastinya mereka yang punya kekayaan lebih banyak yang dipandang lebih kuat. Sebagai efek, orang lain akan hormat, segan, atau malah takut kepada mereka yang dianggap “orang kuat”.
Tetapi dalam Islam, pandangan mengenai hal ini berbeda. Rasulullah SAW bersabda bahwa:
“…orang yang paling kuat adalah orang yang dapat menguasai dirinya ketika ia sedang marah…”
(Hadits riwayat Muslim no. 4722)
Kita tahu dari pemberitaan di media massa, seringkali terjadi kasus pembunuhan sebagai balas dendam. Tetapi yang paling mengerikan adalah pembunuhan disebabkan amarah sesaat. Pemicunya bahkan bisa jadi terlihat sepele. Misalnya hanya karena saling tatap di sebuah tempat umum, yang diartikan sebagai tantangan berkelahi.
Seorang yang bertemperamen keras dan emosional lebih mudah terpancing amarahnya. Karakter lugas tanpa tedeng aling-aling pun kerapkali disalahartikan. Belum lagi bicara dialek dan idiolek akibat perbedaan suku bangsa. Suara keras dianggap sebagai marah misalnya. Padahal memang begitu adanya “dari sononya”.
Intinya sebenarnya persepsi yang ditegakkan atas dasar keyakinan pada kebenaran mutlak pendapat sendiri. Seorang yang yakin “posisi”-nya sudah benar, maka cenderung mempertahankan diri mati-matian. Bahkan, seringkali ini lebih penting daripada esensi yang diperdebatkan.
Contohnya, seorang atasan akan malu hati mengakui bawahannya benar, sehingga ia akan marah bila dikritik. Atau orangtua yang merasa anaknya sebagai “anak kemarin sore”, merasa paling tahu segalanya sehingga tak mau diberi saran. Pemosisian diri lebih tinggi dari yang lain itulah yang membuat emosi meninggi. Padahal, bila kita setara, tentu tidak begitu. Apalagi bila kita merasa diri “orang lemah” yang berhadapan dengan “orang kuat”, tentu akan berhati-hati. Misalnya kalau kaki kita terinjak di bus oleh orang kerempeng, kita mudah membentak. Tetapi kalau oleh preman berbadan besar, bisa-bisa kita diamkan saja.
Pemosisian diri atau kalau dalam bahasa “marketing” disebut “positioning” inilah yang kerapkali keliru diterapkan.
Sebagai contoh, beberapa hari lalu saya membaca di linimasa (TimeLine) Twitter ada seorang yang mengaku CEO bergelar doktor terlibat “Twitwar”. Konyolnya, lawannya adalah account anonim yang tidak jelas identitasnya. Bisa jadi, karena merasa dirinya lebih tinggi, orang tersebut melayani adu argumen melawan “kentut”. Padahal, itu perbuatan sia-sia.
Kembali kepada sabda Rasulullah Muhammad SAW di atas, mereka yang mampu melakukan itu disebut “sabar”. Arti harfiah kata yang diserap dari bahasa Arab itu adalah “menahan diri”. Maka, dalam Islam, salah satu “latihan sabar” adalah dengan berpuasa, terutama di bulan Ramadhan.
Jelas sudah, orang sabar bukan orang lemah. Bukan orang yang “pasrah bongkokan” tidak berbuat apa-apa. Tetapi justru ia mampu berbuat termasuk membalas dendam atau marah, tetapi memilih tidak melakukannya.