Acara “Islam Itu Indah” di Trans TV hari Sabtu (29/8) pagi menyinggung mengenai topik yang dijadikan judul tulisan ini. Seringkali kita menunggu sempurna dulu, baru melakukan sesuatu. Padahal, semua tahu, tak ada yang sempurna di dunia. Bagi Muslim seperti saya, hanya ALLAH SWT Yang Maha Sempurna.
Dalam kisah kuno China (saya tidak akan ikut instruksi SBY menyebutnya Tiongkok, karena orang China sendiri menyebutnya China bukan?), diceritakan ada seorang murid diuji gurunya. Bagaimana ujiannya? Dengan menyuruhnya berjalan mengelilingi taman yang kebetulan melingkar rutenya. Ia hanya boleh maju tanpa boleh mundur lagi saat berjalan. Perintahnya hanya satu: petik bunga paling indah dan hanya boleh memetik satu kali saja. Maka, murid itu pun mulai berjalan, sementara sang guru menunggunya di depan pintu. Ketika ia bertemu bunga pertama, ia lihat bunga itu mekar sempurna, warnanya pun cemerlang, apalagi masih ada tetesan embun di atasnya. Tetapi, karena ia baru saja mulai berjalan, murid itu memutuskan tidak memetik bunga itu dan terus berjalan. Bertemu bunga kedua, bunga itu pun indah, tetapi sudah menghilang tetesan embunnya. Bunga ketiga, masih bunga yang indah, tetapi warnanya tidak secemerlang bunga pertama dan kedua. Terus begitu, setiap bunga selalu ada kekurangannya. Hingga tanpa terasa, murid itu sudah berjalan hampir satu putaran penuh. Tinggal beberapa langkah lagi ia sampai kembali di tempatnya mulai, di mana ada gurunya menunggu di sana. Maka, akhirnya ia memetik bunga terakhir, yang cuma beberapa langkah lagi dari titik perjalanannya berakhir. Bunga itu pun diserahkan kepada gurunya. Dan ternyata, itu adalah bunga yang sudah layu, kelopaknya rontok, warnanya pun kecoklatan nyaris menghitam. Sang guru pun tersenyum, sementara muridnya menunduk penuh penyesalan. Ia berpikir, “Kenapa aku tidak mengambil bunga pertama yang ternyata paling indah dan sempurna?”
Kisah ini punya banyak hikmah. Tetapi di sini saya ambil satu saja, dalam kaitan kesempurnaan dan penyesalan. Seringkali, kita menunggu kesempatan datang. Sayangnya, saat kesempatan yang amat langka itu akhirnya datang, kita melewatkannya. Alasannya, karena belum siap. Kita menunggu sempurna. Padahal, sempurna itu tak ada. Karena kesempatan punya momentum dengan jangka waktu terbatas, maka begitu lewat, kita tak bisa lagi mengambilnya.
Terus-terang, saya juga mengalaminya. Malah, bukan cuma sekali. Apalagi, saya ini memang perfeksionis. Seperti tergambar di foto ilustrasi, seorang perfeksionis mampu melihat kekurangan di hal terkecil yang jadi pekerjaannya. Ia melihat tinggi rumput yang tak sama. Padahal, tak seorang pun peduli.
Dalam hidup, kita seringkali harus ambil resiko memulai sesuatu, walau persiapannya mungkin dirasa kurang. Mudah bila hal itu merupakan pekerjaan bersama seperti terlaksananya suatu acara. Tetapi sungguh sulit bila itu merupakan “target pribadi”, sebagaimana kerap dikumandangkan di awal tahun dengan sebuah “resolusi”. Sudah berapa lama kita menunda memulai olahraga teratur, diet sehat, menghentikan merokok, memulai kursus bahasa asing, membuka bidang usaha baru, dan sebagainya? Tahu-tahu, kita sudah terlalu tua untuk itu semua.
Saya pun terpaksa merevisi “resolusi” saya awal tahun ini. Tadinya, saya ingin menulis setiap hari di blog ini dan di Kompasiana. Tetapi saya lantas tahu, saya salah fokus. Apalagi setelah pengelola situs milik Kelompok Kompas Gramedia itu mengubah formatnya, dimana ada kesalahan hitung fatal terhadap jumlah artikel saya yang jadi HeadLine. Selain kecewa, saya juga jengkel. Plus ada faktor lain yang tak perlu saya sebutkan.
Tetapi, pengabaian saya terhadap “target pribadi” itu berbuah manis di hal lain. Saya memulai beberapa hal baru yang sempat tertunda karena “menunggu sempurna”. Pemindahan fokus membuat hidup saya menjadi lebih baik.
Dan ada satu hal lagi, saya memilih mengabaikan kesempurnaan dalam pemilihan jodoh. Terutama setelah saya justru dua kali dikhianati oleh wanita yang saya begitu perjuangkan. Begitu ia berhasil, saya malah dibuang (semoga ALLAH SWT melaknat mereka berdua. aamiin). Kali ini, saya akan menerima siapa pun asalkan sesuai standar. Ya, standar tetap perlu. Tetapi tidak perlu sempurna seperti dahulu. Karena saya tidak mau lagi menyesal seperti si murid dalam kisah China tadi. Karena yang terjadi kepada saya sebelumnya bak menanam pohon. Dimana saya sudah menanam bibit sedari kecil, menyiangi dan membesarkan, tetapi begitu berbuah, justru dimakan kampret!
Foto ilustrasi: stress.lovetoknow.com