Nilai Benda

Pantai yang dipenuhi batu mulia. Tentu ini hasil kreasi olah digital saja.

Pantai yang dipenuhi batu mulia. Tentu ini hasil kreasi olah digital saja.

Pernah dengar orang berkata, “Perkutut saya ini sudah pernah ditawar orang 1 M, tapi saya tidak mau lepasin.” ?

Bisa jadi sering. Kata “perkutut” bisa diganti dengan apa saja, tergantung koleksi atau benda yang bersangkutan. Mungkin batu akik, anthurium, rumah kuno, ayam cemani, lukisan, patung, perangko, atau arwana. Apa saja….

Nah, sekarang bayangkan bila setelah perkutut itu ditawar orang, besok paginya dia mati. Atau lepas, atau hilang dicuri. Menyesal? Pasti! Bahkan, meskipun yang bersangkutan sudah kaya-raya sekali pun.

Saya ingat pelajaran EKOP (Hayo, ada yang masih ingat singkatannya? Hehe.) sewaktu SMP. Saat itu, diajarkan mengenai nilai uang. Uang punya nilai ekstrinsik dan intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah nilai nyata dari benda yang dijadikan uang. Uang kertas dan uang logam sebenarnya nilainya tak lebih dari nilai kertas atau logam yang dipakai. Karena itu, dinar emas dan dirham perak seringkali dipromosikan sebagai mata uang yang lebih “tahan banting” karena bahan pembuatnya. Uang kertas bila robek atau tercuci misalnya, jadi tak bisa dipakai lagi. Ia cuma sehelai kertas tak berharga. Demikian pula bila terjadi perang. Nah, sebenarnya, apa yang menjadikannya berharga adalah jaminan pihak yang mengeluarannya, yaitu pemerintah suatu negara. Itulah mengapa sehelai kertas yang nilai aslinya cuma beberapa perak bisa ditulisi nilai intrinsik yang lebih besar. Karena untuk tiap sen uang beredar, ada padanan logam mulia yang disimpan di bank sentral negara bersangkutan sebagai penjaminnya.

Nah, dari situ, kita tahu bahwa tiap hal punya nilai ekstrinsik dan instrinsik. Barang-barang koleksi bagi yang bukan kolektor tak bernilai sama sekali. Sebaliknya bagi kolektor, bisa jadi ia tak ternilai lagi.

Contoh faktual adalah perusakan situs-situs sejarah kuno di Palmyra, Suriah. Milisi Negara Islam di Irak dan Suriah (atau lazim disingkat ISIS=Islamic State at Iraq and Syria) merusak banyak benda peninggalan masa Romawi. Bagi mereka, patung, kuil, dan artefak berharga itu justru tak ada harganya, cuma onggokan batu belaka. Apalagi kemudian “diberi nilai” lain seperti dianggap “berhala”. Sama saja dengan bahan batu mulia mentah di alam, bagi yang tidak tahu bisa jadi malah dibuang atau cuma diinjak dan dilewati saja. Padahal, bila sudah diasah dan diolah menjadi batu akik atau bentuk perhiasan lain, bisa sangat mahal harganya.

Demikian pula dengan pakaian atau asesorisnya. Bila diberi label merek ternama, akan jadi mahal harganya. Karena di balik merek itu, ada sebuah proses panjang yang membuatnya dipercaya sebagai barang berkualitas. Padahal, seringkali merek ternama itu justru membeli barang dari produsen yang tidak ternama. Kualitas barang bermerek dan tanpa merek pun ada yang sama atau tidak jauh. Tetapi bagi pemilik barang bermerek, ada “gengsi” di sana. Dan ini menyangkut “harga diri” atau “kehormatan” yang dirasakan si pemakai. Sebuah cara menunjukkan eksistensi jatidiri sebagai “pribadi sukses” yang mampu membeli barang mahal.

Maka, saya cenderung menghindari orang yang menganggap gengsi adalah segalanya. Meletakkan nilai barang lebih tinggi daripada nilai manusia pemakainya. Apalagi, merendahkan mereka yang mungkin belum bisa memakainya. Padahal jelas, semua itu sebenarnya semu belaka. Cuma konstruksi pikiran manusia belaka. Dan saya pun teringat ucapan sahabat saya sejak SMP Yana M. Ismail Mulyana, SE beberapa hari lalu, “Ngapain sih kita mamerin banda. Kagak dibawa mati ini!”

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s