Harapan.
Sebuah kata sederhana. Tetapi tidak sederhana maknanya. Apalagi implementasinya.
Meski ucapan itu terlontar dari mulut karakter antagonis atau villain dalam film The Hunger Games (2012), tetapi benar sekali artinya. Karena itu, saya mengutpinya di sini awalau bukan dari karakter protagonis atau hero dalam film pertama dari quantalogi The Hunger Games itu.
Ketika kita berharap, tentunya ada visi tentang kondisi lebih baik di masa depan. Itu bisa berarti secara ekonomi, politik, sosial, atau malah keluarga dan pribadi. Menurut Presiden Coriolanus Snow, harapan itu lebih kuat daripada ketakutan.
Selain kutipan dari film di atas, seringkali juga dikutip tulisan dari Hal Lindsey berikut:
“Man can live about forty days without food, about three days without water, about eight minutes without air… but only for one second without hope.”
Manusia dapat hidup 40 hari tanpa makan, sekitar 3 hari tanpa air, sekitar 8 menit tanpa udara… tapi hanya 1 detik jika tanpa harapan.
Meski terkesan “lebay”, karena jelas saja faktanya banyak manusia terus hidup dalam kondisi teramat sulit dan jelas tanpa harapan, tetapi ungkapan itu semata ingin menunjukkan kuatnya makna harapan. Dengan harapan, manusia bisa berharap terus melihat mentari esok pagi.
Mereka yang bunuh diri, biasanya sudah tidak memiliki harapan lagi. Apa pun yang “pemicu”-nya, keputusan itu sampai karena yang bersangkutan merasa tidak mungkin ada perbaikan di masa depan. Keinginan yang tidak tercapai, cita-cita yang kandas, kegagalan dalam meraih tujuan, semua bisa menjadi alasan. Tetapi, hal terutama adalah ketiadaan harapan tadi.
Walau harapan terkesan kuat, tetapi pemaknaannya bagi tiap orang berbeda. Terutama sekali tergantung pada kepribadian dan karakter, baru setelah itu situasi dan kondisi masing-masing. Dalam hal ini, mereka yang berkepribadian phlegmatic dan berkarakter santai tentu akan lebih mudah menghadapi situasi “tanpa harapan”.
Hidup, merupakan sebuah misteri besar.
Apa yang didapat manusia sebagai hasil seringkali tak sebanding dengan upaya yang telah dikeluarkan. Sementara, di sisi lain, ada para “lucky bastard” yang tampaknya bisa meraih apa pun tanpa usaha. Itulah takdir Tuhan. Tentu, kalau kita percaya pada-Nya. Kalau tidak, yah, anggap saja “nasib”.
Tetapi, harapan membuat manusia tak boleh menyerah pada “nasib” belaka. Meski mungkin tak ada dari kita yang meminta lahir (kecuali bila preposisi yang ditulis dalam novel The Celestine Prophecy (1993) karya James Redfield benar), tetapi kita ‘terpaksa’ harus hidup dengan kondisi yang ditetapkan bagi kita oleh Tuhan. Kita seperti ‘terkutuk’ lahir dari pasangan orangtua kita, yang mau tak mau harus kita terima apa pun kondisi dan situasi mereka. Karena itu, tak heran Sartre sampai mengatakan kita “comdemned to be free”. Artinya, hidup kita yang bebas dengan memiliki “free will” justru adalah kutukan. Bila kita tak mampu memaksimalkannya, bisa jadi kita akan terjebak dalam kondisi sulit dalam hidup.
Karena itu, hidupkan selalu harapan. Karena harapan-lah yang membuat manusia tetap bertahan hidup.