Sejarah adalah sebuah ilmu penting. Tetapi sejarah hidup kita sendiri seringkali tidaklah sepenting itu. Setidaknya, bagi orang lain. Bahkan, seringkali sejarah hidup kita pun dipandang tak penting bagi keluarga atau kerabat.
Sebenarnya itu wajar. Karena manusia pada dasarnya memang egosentris. Hanya karena ada tatanan hidup sosial saja maka manusia ‘terpaksa’ berinteraksi dengan sesama. Lihatlah, makin kaya dan berkuasa seseorang, makin individualis dia. Demikian pula hidup yang nyaman dan mewah seperti raja jelas mengutamakan diri sendiri. Semua manusia ingin dilayani dan diperhatikan. Kalau bisa, semua manusia ingin dikenang bak pahlawan.
Tapi, itu mustahil.
Kita hidup bersama 7 milyar manusia lainnya. Tak ada yang peduli pada kita selain keluarga terdekat. Semua orang sibuk mengurus dirinya masing-masing. Maksimal mengurus keluarga inti. Kalau ada kelebihan harta dan waktu, baru mengurus keluarga batih, lalu setelah itu kerabat, tetangga, dan golongannya sendiri. Dan sangat sedikit kesempatan kita menjadi sosok pahlawan atau yang dikenang sepanjang masa.
Toh, saya teringat ucapan sobat lama saya Wien Muldian (terakhir menjabat Kepala Perpustakaan Depdikbud, saya tidak tahu sekarang), waktu saya memperkenalkan buku pertama yang saya editori. Apa ucapannya?
“Lu nggak usah malu. Buku itu karya lu. Itu sejarah hidup lu sendiri. Lu malah musti bangga.”
Dan ucapan itu, walau mungkin yang bersangkutan sendiri sudah lupa pernah mengatakannya, tetapi saya masih mengingatnya sampai sekarang. Terus-terang, di waktu saya malu mengingat sejarah hidup saya yang bertabur kegagalan dan kebodohan, ucapan itu membesarkan hati saya.
Nah, dalam hidup, saya termasuk orang yang seringkali “menengok atau melihat ke belakang”. Tentunya dalam konteks mengenang masa lalu. Tetapi, lebih sering menyesali apa yang pernah terjadi. Pikiran semacam “Ah, seandainya saja….” atau “Duh, coba kalau saya…” begitu menghantui.
Ucapan karakter utama antagonis Walter Burke (Al Pacino) yang dimaksudkan sebagai nasehat bagi karakter utama protagonis James Douglas Clayton (Colin Farrell) itu begitu mengena bagi saya. Dalam film The Recruit (2003) itu (resensi bisa dibaca di resensi-film.com) itu Burke meminta Clayton melupakan misteri yang melingkupi seputar kematian ayahnya. Meski disebutkan sebagai pilot yang tewas dalam kecelakaan pesawat yang jatuh, tetapi jenazahnya tak pernah ditemukan. Maka, selama bertahun-tahun kemudian, Clayton terus berusaha menguak misteri itu termasuk dengan bergabung ke CIA (Central Intelligence Agency) atas ajakan Burke.
Padahal, sebagai salah satu lulusan terbaik jurusan komputer di MIT (Massachussets Institute of Technology), ia punya masa depan cerah terbentang di depan. Toh, akhirnya ia tetap memilih berkarir sebagai agen CIA bukan lagi karena penasaran atas kematian ayahnya, tetapi karena ia sadar bahwa itulah “darah”-nya. Atau dengan kata lain, “passion”-nya.
Dalam hal ini, saya mengambil pelajaran dari film itu, bahwa meskipun saya harus bangga pada sejarah hidup saya sendiri, tak perlu terlalu sering menengok ke belakang. Apalagi terlalu menyesali diri seperti kerap saya lakukan. Karena selain itu tak bisa mengubah sejarah -kecuali saya menemukan mesin waktu atau wormhole- semua itu tak bisa diubah lagi. Malah, seperti diingatkan Burke, saya bisa kehilangan seluruh hidup saya bila terus melakukan itu.
Karena itu, meskipun sulit sungguh sebagai seorang yang berkecenderungan “historis” dan “mengambil tanggung-jawab”, tetapi saya harus berusaha tidak terlalu sering menengok ke belakang. Karena seperti sedang mengendarai mobil, menengok ke belakang melalui spion hanya perlu sesekali, terutama di dua keadaan: saat akan parkir atau menyalip. Karena bila selama mengemudi terus menengok spion, niscaya kendaraan akan menabrak bukan? Dan di sini, saya meyakinkan diri, bahwa saya menengok ke belakang justru karena akan menyalip langkah orang lain di tikungan kehidupan. Itu pasti!