Malam ini, tim nasional sepakbola U-23 yang diturunkan di SEA Games kembali kalah dalam perebutan tempat ketiga. Dengan demikian, dipastikan mereka pulang dengan tangan hampa tanpa medali. Kekalahan tragis 0-5 dari Vietnam seakan “melengkapi derita” mereka setelah pada Sabtu (13/6) lalu dikalahkan oleh Thailand dengan skor sama.
Saya bukan “orang bola”. Tetapi saya cukup “ngerti bola”. Dan pengetahuan tentang olahraga paling populer di planet ini saya dapat selain dari membaca berita media massa justru dari computer game bertemakan football manager. Saya penggemar game strategi semacam itu. Dari situ, saya tahu bahwa ada banyak sekali aspek tak terlihat di balik kesuksesan sebuah klub sepakbola dalam sebuah kompetisi.
Pertandingan di atas lapangan hijau selama waktu normal 2 x 45 menit itu sebenarnya bak “panggung teater” saja. Para pemain di hari-hari lain selalu berlatih seperti orang bekerja kantoran biasa, antara 4-8 jam per harinya. Di saat-saat “tak terlihat” oleh “mata publik” itulah sebenarnya pembentukan segala hal yang diperlukan untuk meraih kemenangan dilakukan.
Peran pelatih kepala yang sering disebut sebagai manager klub tidaklah ringan. Ia justru orang nomor satu dalam hal penentuan strategi tim. Agak lucu kalau melihat penamaan hierarkhi sistem kepelatihan, karena di bawah “manager” ada beberapa “direktur” sebagai bawahannya, salah satunya direktur teknik. Padahal, dalam hierarkhi “organization development” normal di pekerjaan, jelas direktur lebih tinggi daripada manager.
Sebagai penentu kebijakan di lapangan, kekuasaan manager nyaris mutlak. Meski pihak pemilik klub atau direksi dalam jajaran high-management bisa memberikan saran, tetapi keputusan ada pada sang head coach alias manager. Maka, kalau terjadi ketidakcocokan dengan pihak atasan yang mempekerjakannya, biasanya berakhir dengan pemecatan sang manager.
Semua itu cuma untuk menggambarkan kepada LifeLearner, bahwasanya menang-kalah itu tidak semudah kelihatannya. Hasil di lapangan hijau yang kita tonton sambil tiduran di depan televisi itu adalah kerja keras banyak pihak. Dan tendangan pemain yang tidak masuk ke gawang lain tidaklah semudah kita mengatakan “goblok!”
Maka, baiklah kita ubah kebiasaan buruk “menang disanjung, kalah dicaci” yang kerapkali kita lakukan. Pare pemain sudah berusaha semaksimal mungkin. Bahkan tim sekelas Argentina yang dihuni para pemain terhebat di planet ini, saat “digadang-gadang” bakal memenangkan Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan, ternyata keok. Maka, bayangkan kondisi mental para pemain kita yang bertanding di SEA Games tanpa naungan “induk”-nya yaitu PSSI yang tengah dibekukan Kemenpora dan menghadapi sanksi FIFA. Bukankah konyol kalau kita yang tidak punya kontribusi apa-apa malah ikut mencaci?
Sumber foto: cnnindonesia.com