Siapa sih yang mau jatuh? Jatuh dalam konteks sebenarnya yaitu tersandung atau terjerembab lantas tubuh menghantam lantai? Jelas tak ada yang mau. Tapi kita mungkin sudah lupa, bahwa semua kita pernah mengalaminya. Terutama sekali saat bayi hendak belajar berjalan. Ketika itu, semua bayi punya tujuan sama: mereka ingin bisa berjalan. Maka, meski dalam prosesnya mereka jatuh, terjerembab bahkan berguling, tetapi dengan cepat bangun lagi, malah sambil tertawa. Rasa sakit tak mereka hiraukan, karena yakin pada tujuan. Plus, ada orang yang menjaga dan menunggu mereka di tempat tujuan.
Dalam hidup, proses jatuh dan bangkit lagi secara fisik mungkin kita alami lagi saat belajar naik sepeda. Demikian pula beberapa kali proses penguasaan “ketrampilan hidup” lainnya seperti menyetir mobil atau motor, menjahit, berenang, memasak, dan sebagainya. Tetapi, dalam konteks yang bukan ketrampilan, melainkan pengalaman, seringkali kita mengalami kesulitan bangkit lagi setelah jatuh.
Jatuh di sini justru bukan jatuh dalam arti harfiah, melainkan kiasan. Manusia mengalaminya berkali-kali. Mulai dari gagal masuk jurusan perkuliahan yang dituju, gagal lulus kuliah tepat waktu, tidak berhasil mendapatkan pekerjaan yang didambakan, dan sebagainya. Bahkan ada beberapa orang mengalami kejatuhan lebih parah daripada yang lainnya. Sebutlah seperti di-PHK atau mengalami kebangkrutan bisnis.
Jatuh itu jelas bukan hal mengenakkan. Baik itu harfiah maupun kiasan.
Tetapi bila kita ingat bahwa jatuh justru bukan hal alami bagi setiap makhluk. Justru berdiri dan melangkah itulah yang alami. Tiap kali jatuh karena sebab apa pun, jangan biarkan diri berlama-lama di posisi itu.
Bangun, bangkit, berdirilah!
Maka, nasehat Alfred Pennyworth kepada Bruce Wayne (karakter asli Batman) seperti saya kutip di atas bisa jadi berguna sebagai penyemangat. Ia secara retoris bertanya, “Kenapa kita jatuh?” Dan jawabannya adalah: “Agar dengan begitu kita dapat belajar lebih baik untuk membangkitkan diri kembali.”