Dalam film Taken (2009), karakter yang diperankan Liam Neeson adalah mantan agen lapangan CIA (Central Intelligence Agency) bernama Bryan Mills. Saat putrinya diculik komplotan mafia trafficking, ia mengancam akan memburu mereka. Disebutkannya bahwa ia memiliki “very particular set of skills”. Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti “Keahlian Sangat Khusus”.
Apa keahlian sangat khusus itu? Dalam film tersebut tentu saja keahlian dan ketrampilan seorang agen raahasia. Mulai dari berpikir taktis dan bertindak cepat, mengenali suara, negosiasi, bicara dalam beberapa bahasa asing, melakukan pelacakan, mengelaborasi informasi melalui jaringan komputer dan internet, kemampuan bertahan hidup (survival), serta tentu saja, membunuh.
Dalam hidup, bisakah kita memilikinya? Dan, lebih penting lagi, perlukah?
Terus-terang, sudah sejak lama saya melatih diri untuk memiliki kemampuan seorang agen rahasia. Satu hal yang menurut saya paling penting adalah survival. Dan saya membuktikan sendiri, dalam hidup saya, berkali-kali saya diselamatkan dari situasi terdesak oleh kemampuan ini. Survival instinct sebenarnya ada di semua makhluk hidup, bahkan pada hewan, tumbuhan, jamur atau makhluk bersel satu. Tetapi pada manusia, semua itu menjadi kompleks.
Justru karena manusia terbiasa menahan nalurinya. Dalam beberapa hal, itu bagus karena justru itu yang membedakan kita dari hewan. Bila kita lapar, tak serta-merta merebut makanan siapa saja yang ada di depan kita. Bila kita ingin melampiaskan hasrat biologis, tentu tidak kepada sembarang lawan jenis di mana pun kapan pun.
Tetapi kemampuan “berpikir” dan “merasa” pada manusia kerapkali menunda reaksi refleks. Inilah yang pada ilmu dan seni bela diri (martial arts) dilatih kembali. “Don’t think!” demikian nasehat Ra’s al-Ghul kepada Bruce Wayne saat mereka masih jadi guru-murid dan belum bersimpang jalan. Maksudnya adalah, muridnya itu harus lebih mengandalkan naluri bertahan hidup daripada pikiran. Dengan demikian refleks gerak motorik akan terbiasa, bahkan kecepatannya melebihi kemampuan kognitif.
Dan saat ini, saya merasa sudah saatnya hasil latihan saya bertahun-tahun dipraktekkan untuk tujuan lebih jelas: balas dendam! Kepada siapa? Kepada mereka yang telah pernah menzalimi saya. Tetapi tenang saja, balas dendam ini bukan berupa tindakan kriminalitas, tetapi lebih berupa pencapaian prestasi hidup. Sehingga, saya bisa dengan bangga menepuk dada di hadapan mereka kelak, “I am legend! I am the champion!”
Sumber foto: www.esquire.com