Ngopi di “Warung Kopi”

2 cups of coffee

Secara teknis, semua dari kita bisa membuat kopi. Tapi bisa belum tentu mahir. Mahir masih kalah dengan ahli. Kalau cuma menyeduh dan mengaduk kopi dari sachet rasanya semua orang bisa. Tetapi meracik kopi seperti di foto di atas, belum tentu. Karena itulah ada yang namanya “barista”. Dia adalah ahli meramu dan meracik kopi. Keahlian ini diperoleh dengan sekolah dan latihan khusus. Bahkan di Amerika dan Eropa ada sertifikasi profesinya. Karena jelas, kopi yang disajikan di café alias warung kopi modern bukan sekedar sarana penghilang haus belaka, tetapi memiliki nilai seni.

Itulah yang juga hendak dipotret oleh Dewi Lestari dengan bukunya Filosofi Kopi (Jakarta: Trudee Books & GagasMedia, 2006). yang sudah difilmkan beberapa waktu lalu. Di kisah itu, karakter tokoh utama terobsesi untuk menyajikan kopi paling nikmat di dunia. Apalagi setelah mendapatkan tantangan dari seorang pengunjungnya yang menjanjikan hadiah besar bila berhasil meracik kopi itu. Tetapi, ia malah “kena batunya” saat ternyata ia mendengar kabar ada kopi yang lebih enak daripada kopi buatannya. Dan tempatnya pun di kaki gunung yang jauh. Ia rela menempuh perjalanan demi mendapatkan kopi yang ternyata diseduh di warung kopi biasa, oleh seorang warga desa biasa. Setelah mencicipi, sang barista yang juga pemilik café itu harus mengakui bahwa kopi ala desa itu memang lebih nikmat daripada buatannya.

Selalu ada langit di atas langit. Kalau kita sudah merasa di atas, selalu ada yang lebih atas. Bahkan, dalam pemeringkatan yang dianggap obyektif seperti daftar orang terkaya di dunia versi majalah Forbes misalnya, belum tentu orang yang duduk di puncak daftar memiliki kekayaan riil atau likuid sebanyak itu. Karena bisa jadi kekayaannya terrmasuk dalam bentuk aset, investasi atau bentuk non-likuid lain. Apalagi kalau yang sifatnya “selera” seperti rasa kopi tadi. Paling enak menurut satu orang atau satu kelompok, belum tentu sama bagi orang lain.

Saya terkejut seorang teman saya yang menganggap dirinya barista ahli mengatakan kopi sebuah kedai kopi modern tidak enak. Masalahnya, secara pribadi saya juga pernah mencicipi kopi buatannya. Dan rasanya sebenarnya juga tidak istimewa. Namun, saya tentu menghargainya. Pertama karena dia teman saya. Kedua, karena dia barista. Ketiga, karena dia berhak punya selera sendiri.

Maka, saat dahulu saya pernah bekerja di majalah gaya hidup terkemuka dan harus menilai kuliner termasuk kopi, saya sangat hati-hati. Tidak ingin saya dengan mudah menghakimi sesuatu yang saya tahu membuatnya tidak semudah terlihat saat disajikan.

Karena sebenarnya, apa yang dibeli pengunjung saat memutuskan “ngafe” bukan semata rasa kopi yang disajikan. Tetapi lebih kepada suasana dan gaya hidup, serta kenyamanan. Bagi saya, membayar sepuluh kali lipat dari harga kopi di warung kopi, sangat sepadan untuk semua itu. Karena filosofi kopi memang bukan sekedar rasa, tetapi kenikmatan. Dan itu sulit dinilai, kecuali dengan “rasa hati”.

2 responses to “Ngopi di “Warung Kopi”

  1. Maaf mas Bro, ane tdk pernah menganggap dr ane barista ahli. Dan ane ga pernah nyeduh kopi yg enak emang, buat mas bro. Ga punya mesinnya. Tp semua persepsi rasa tentang kopi ane, emang betul, hanya selera ane saja. Tidak lebih. Untuk selera kopi ane cm bisa nilai dr espresso nya. Klo rasanya asam, pasti ane akan bilang ga enak. Apalagi klo aromanya ga wangi. Cm itu aja rujukan ane.

    Salam.

    • Hehe… orangnya baca. Bagus lah… Ane cuma ingin mengingatkan jangan mudah mencela. Soalnya ane dulu begitu, maklum, kebiasaan nurun dari babe… Sekarang udah coba ngilangin. Maap ye kalo ade sale2 kate… 😉

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s